JabodetabekPolitik

Mahasiswa Geruduk Monas: Tuntut Evaluasi Total 1 Tahun Prabowo-Gibran, Soroti Gizi dan Pendidikan

28
×

Mahasiswa Geruduk Monas: Tuntut Evaluasi Total 1 Tahun Prabowo-Gibran, Soroti Gizi dan Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id – Koalisi Mahasiswa Bersatu (KMB) melancarkan aksi unjuk rasa besar-besaran di Silang Monas Selatan/Seberang Gedung Danareksa, Gambir, Jakarta Pusat, hari ini (20/10/2025), bertepatan dengan satu tahun masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Aksi yang melibatkan sekitar 300 orang dari berbagai elemen kampus dan organisasi ini menyuarakan kritik keras dan menuntut evaluasi total terhadap kebijakan pemerintah, khususnya di sektor pangan, gizi, pendidikan, serta isu kesejahteraan rakyat.

​Puncak Ketegangan: Aksi Bakar Ban Dua Kali

​Aksi yang dimulai sejak pukul 14.11 WIB ini sempat diwarnai dengan dua kali upaya pembakaran ban bekas dan spanduk. Upaya pertama pada pukul 15.05 WIB berhasil dipadamkan oleh aparat kepolisian. Namun, massa kembali melakukan pembakaran ban bekas dan spanduk di depan Gedung BSI Tower sekitar pukul 17.10 WIB. Meskipun demikian, aksi ditutup secara tertib dengan doa bersama dan tabur bunga oleh massa DEMA pada pukul 17.45 WIB, dan seluruh massa meninggalkan lokasi pada pukul 18.15 WIB.

​Kritik Tajam terhadap Program Unggulan dan Kebijakan Publik

​Dalam orasinya, Koalisi Mahasiswa Bersatu menyoroti dua sektor fundamental yang dinilai menunjukkan tanda-tanda kritis: Gizi dan Pendidikan.

  1. ​Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Dianggap Gagal dan Tidak Transparan:
    • ​Massa menyebut program unggulan MBG gagal dan menyoroti alokasi anggaran MBG sebesar Rp 335 Triliun yang belum memiliki transparansi publik.
    • ​Lembaga Eksekutif Mahasiswa Jayabaya mendesak reformasi total tata kelola MBG, termasuk pembentukan badan pengawas independen, karena struktur Badan Gizi Nasional dinilai “mencederai prinsip supremasi.”
    • ​Kritik juga datang terkait kasus keracunan makanan MBG di beberapa daerah, menunjukkan adanya masalah dalam pelaksanaan program tersebut.
  2. ​Sektor Pendidikan dan Kesejahteraan Guru:
    • ​Mahasiswa menuding pemerintah lemah komitmen terhadap amanat UUD 1945 Pasal 31, dengan bukti berupa perubahan kurikulum tanpa kesiapan, komersialisasi sekolah, dan nasib guru honorer yang belum sejahtera.
    • ​Aksi ini juga menggemakan isu nasional terkait pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dianggap mengabaikan gaji guru dan dosen sebagai tanggung jawab penuh pemerintah, yang memicu gelombang protes.
  3. ​Kesenjangan Kesejahteraan dan Pajak:
    • ​Mahasiswa menyoroti ironi di mana gaji dan tunjangan anggota DPR dikabarkan naik menembus angka lebih dari Rp 100 juta per bulan dengan pajak penghasilan ditanggung pemerintah, sementara rakyat justru “dicekik” dengan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berkali-kali lipat di berbagai daerah (mengutip kasus di Pati, Bone, Cirebon, Jombang, dan Semarang).

​13 Tuntutan Utama Koalisi Mahasiswa Bersatu

​Sebagai puncak aksi, Koalisi Mahasiswa Bersatu menyampaikan 13 tuntutan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan reformasi birokrasi, termasuk:

  • ​Hapus Hak Istimewa dan Potong Gaji Pejabat Negara, Perwira Tinggi, hingga Komisaris BUMN setara upah buruh rata-rata untuk dialokasikan ke Pendidikan dan Kesehatan gratis.
  • ​Potong Anggaran lembaga yang Tidak Mensejahterakan Rakyat, seperti Kementerian Pertahanan, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan DPR/MPR.
  • ​Naikan Upah Buruh dan Turunkan Pajak Untuk Rakyat.
  • ​Naikan pajak progresif bagi perusahaan besar, perbankan, dan konglomerat.
  • ​Tuntutan politik seperti Cabut UU TNI Stop Militerisasi, Bubarkan Komando Teritorial, Militer Balik ke Barak, dan tuntutan untuk Membebaskan Kawan Mereka serta Menangkap dan Mengadili Aparat Pelanggar HAM.

​Aksi ini melibatkan berbagai elemen penting, antara lain UNPAM, PTIQ, Universitas Jayabaya, Universitas Bung Karno, BEM SI, DEMA SE-INDONESIA, FMN UI, FPR UI, dan GMNI. Pimpinan aksi, Pj M. Syahrus Sobirin, menegaskan bahwa kehadiran mereka bukan bentuk permusuhan, melainkan tanggung jawab moral mahasiswa untuk mengingatkan bahwa “kekuasaan harus tunduk kepada rakyat, bukannya sebaliknya.”

[]