Jawa BaratKesehatan

Sidak Dedi Mulyadi Bongkar Fakta Sumur Bor Sedalam 130 Meter, Pemerintah Jabar Diminta Audit Total Izin Aqua

16
×

Sidak Dedi Mulyadi Bongkar Fakta Sumur Bor Sedalam 130 Meter, Pemerintah Jabar Diminta Audit Total Izin Aqua

Sebarkan artikel ini
Foto.dok.Inilah.com

Subang, faktapers.id – Kunjungan mendadak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), ke pabrik air mineral Aqua di Subang pada Senin (20/10/2025) telah melahirkan temuan yang mengguncang citra produk air minum dalam kemasan (AMDK) tersebut dan memantik polemik serius mengenai eksploitasi sumber daya air di wilayah pegunungan. Temuan ini fokus pada kontradiksi antara persepsi publik yang diiklankan sebagai ‘air mata air pegunungan’ dengan fakta di lapangan, yaitu pengambilan air melalui teknologi sumur bor dalam.

Keterkejutan di Lokasi Pabrik: Bukan Mata Air Permukaan

​Kunjungan Dedi Mulyadi, yang didokumentasikan melalui kanal YouTube pribadinya, menjadi momen puncak terungkapnya fakta tersebut. Setelah gagal bertemu dengan pimpinan tertinggi pabrik, KDM langsung meminta ditunjukkan lokasi sumber air yang digunakan.

​Keterkejutan itu muncul ketika perwakilan perusahaan menjelaskan bahwa air baku untuk produk mineral tidak diambil dari air permukaan yang mengalir, melainkan dari kedalaman tanah. Dedi Mulyadi lantas menggali detail teknis, dan mendapatkan konfirmasi bahwa air diambil melalui sumur bor dalam dengan kedalaman yang bervariasi, mencapai antara 100 hingga 130 meter.

​”Oh ini airnya dibor? Saya kira air permukaan, air dari mata air. Ternyata bukan dari mata air, tapi dari sumur pompa dalam,” ujar KDM, merefleksikan adanya disparitas antara citra produk dan realitas teknis pengambilan air.

​Meskipun pihak pabrik berdalih bahwa air tanah dalam (akuifer) memiliki kualitas terbaik, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa penggunaan istilah ‘air pegunungan’ selama ini telah membentuk pemahaman di masyarakat bahwa air diambil secara alami, bukan melalui proses pengeboran dan pemompaan mekanis dari lapisan akuifer yang sangat dalam.

Implikasi Eksploitasi: Ancaman Ekologis di Wilayah Rawan Longsor

​Temuan KDM tidak berhenti pada masalah terminologi pemasaran, tetapi meluas pada implikasi lingkungan yang lebih besar, mengingat lokasi pabrik berada di kawasan pegunungan Subang yang dinilai rawan.

  • ​Risiko Ketidakstabilan Tanah: Dedi Mulyadi secara tegas menyoroti bahaya eksploitasi air tanah dalam skala besar di zona pegunungan. Menurutnya, pengambilan air dari bawah tanah dalam jumlah masif berpotensi menyebabkan pergeseran struktur tanah dan mengganggu kestabilan geologi wilayah tersebut. “Air gunung nggak ambil bawah tanah, apa nggak geser tanahnya? Kalau di pegunungan, geser tanah berisiko. Ini harus diperhitungkan,” ujarnya.
  • ​Korelasi dengan Bencana Lokal: KDM mengaitkan praktik pengeboran ini dengan peningkatan frekuensi bencana hidrologi di wilayah sekitar, seperti banjir dan longsor yang kini terjadi di area seperti Kasomalang, Subang, yang dulunya dikenal stabil. Hal ini mengindikasikan adanya problem lingkungan serius akibat kombinasi eksploitasi air dan faktor lain.

Desakan Audit Total dan Transparansi Data

​Sebagai respons atas potensi kerusakan lingkungan dan kurangnya transparansi, Gubernur Jawa Barat menuntut langkah-langkah konkret dari Pemerintah Daerah dan perusahaan:

  1. ​Evaluasi Izin Komprehensif: Dedi Mulyadi mendesak Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Dinas terkait di Provinsi Jawa Barat untuk segera mengaudit dan meninjau ulang seluruh perizinan operasional pabrik, khususnya Izin Pengambilan Air Tanah (IPAT), di Subang, Purwakarta, dan wilayah lain yang memiliki cadangan air besar.
  2. ​Transparansi Volume Air: Perusahaan didesak untuk lebih transparan mengenai jumlah titik sumur bor yang digunakan dan data volume air yang disedot setiap hari (yang dikabarkan mencapai 2,8 juta liter per hari), serta memastikan tidak adanya manipulasi data pengambilan air.
  3. ​Keadilan Ekonomi Lingkungan: KDM juga mempertanyakan aspek keadilan ekonomi, di mana perusahaan besar mendapatkan bahan baku utama—air—secara gratis dari alam, sementara risiko kerusakan lingkungan dan sosial ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah.

​Penemuan Dedi Mulyadi ini telah membuka babak baru dalam perdebatan nasional mengenai hak atas air dan tanggung jawab industri AMDK dalam mengelola sumber daya alam yang vital. Publik kini menunggu langkah tegas dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menindaklanjuti temuan ini demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan hak air bagi masyarakat setempat.

Sementara itu Produsen air minum kemasan (AMDK) Aqua, Danone Indonesia, merespons cepat dan keras atas temuan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mempertanyakan sumber air produk mereka yang ternyata berasal dari sumur bor dalam di Subang. Dalam klarifikasi resminya, Danone secara tegas membantah tuduhan bahwa mereka menyesatkan publik atau bahwa airnya setara dengan ‘air sumur pompa biasa’.

​Danone berupaya menjernihkan kontroversi tersebut dengan memaparkan detail teknis dan ilmiah mengenai sumber air mereka, yang disebut sebagai Akuifer Pegunungan Alami yang Terlindungi.

​Perbedaan Terminologi: Sumur Bor Vs. Akuifer Terlindungi

​Fokus utama pembelaan Danone adalah pada perbedaan mendasar antara mata air permukaan (yang dipersepsikan publik dari iklan) dan akuifer yang diakses melalui pengeboran.

  • ​Bukan Air Permukaan/Dangkal: Danone menegaskan bahwa sumber air Aqua tidak benar berasal dari air permukaan atau air tanah dangkal. Sebaliknya, air tersebut diambil dari lapisan akuifer dalam yang terletak di sistem hidrogeologi pegunungan.
  • ​Akses Self-Flowing dan Pengeboran: Perusahaan mengakui bahwa mereka menggunakan teknik pengeboran (sumur bor dalam, sedalam 100-130 meter) untuk mengakses air. Namun, mereka menjelaskan bahwa pengeboran ini diperlukan untuk mencapai lapisan akuifer yang kualitasnya paling bagus dan secara alami terlindungi dari kontaminasi permukaan. Selain itu, Danone mengklaim bahwa sebagian titik sumber mereka bersifat self-flowing (mengalir alami), yang menunjukkan tekanan air alami dari dalam bumi.
  • ​Jaminan Kualitas: Pihak Danone menekankan bahwa pemilihan 19 sumber air pegunungan mereka di seluruh Indonesia telah melalui seleksi ketat dan kajian ilmiah.

Jaminan Ilmiah dan Dampak Lingkungan

​Terkait kekhawatiran Dedi Mulyadi mengenai risiko pergeseran tanah dan bencana ekologis akibat eksploitasi air, Danone menyajikan data ilmiah:

  • ​Studi Hidrogeologi Universitas: Danone mengklaim telah melakukan studi hidrogeologi mendalam yang bekerjasama dengan perguruan tinggi terkemuka, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjadjaran (Unpad).
  • ​Tidak Mengganggu Masyarakat: Hasil studi tersebut, menurut Danone, mengonfirmasi bahwa operasional pengambilan air mereka berada di lapisan akuifer yang berbeda dan tidak bersinggungan dengan cadangan air yang digunakan oleh masyarakat sekitar pabrik untuk kebutuhan sehari-hari.
  • ​Kontribusi Positif Lingkungan: Danone mengimbau masyarakat untuk melihat komitmen mereka terhadap pelestarian lingkungan di sekitar sumber air, yang diklaim telah melalui proses audit dan perizinan ketat dari pemerintah.

​Klarifikasi Danone ini menggeser fokus perdebatan dari “di mana air diambil” menjadi “apa definisi ilmiah dari air pegunungan,” sekaligus menantang Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mempublikasikan hasil audit data volume pengambilan air, yang menjadi kekhawatiran utama Dedi Mulyadi. Kontroversi ini secara luas meningkatkan kesadaran publik mengenai transparansi sumber daya alam dan regulasi industri AMDK di Indonesia.

(Diedit bersumber dari Suara.com)