Ekonomi Bisnis

Danantara Dituding Gagal Penuhi Mandat Strategis, Pandu Sjahrir Disorot Ditengah Isu Konflik Kepentingan

11
×

Danantara Dituding Gagal Penuhi Mandat Strategis, Pandu Sjahrir Disorot Ditengah Isu Konflik Kepentingan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Jakarta, faktapers.id  – Sorotan tajam kini diarahkan kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) menyusul kebijakan kontroversialnya yang mengalihkan triliunan dana dividen BUMN ke instrumen obligasi. Kritik keras publik dan pejabat negara menekankan satu poin fundamental: Danantara dianggap telah menyimpang secara signifikan dari mandat utamanya sebagai motor pembiayaan proyek strategis nasional (PSN).

Deviasi dari Misi Utama: Dari Investasi Riel ke Paper Asset

​Danantara didirikan dengan tujuan jelas—bertindak sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia, fokus pada investasi langsung jangka panjang di sektor-sektor produktif. Dana yang dikumpulkan dari dividen BUMN senilai total Rp80 triliun seharusnya disalurkan untuk pertumbuhan ekonomi riil, seperti pembiayaan infrastruktur baru (jalan tol, bandara), proyek hilirisasi, dan energi terbarukan (misalnya, proyek Waste to Energy atau WTE yang sering disebut Danantara).

​Namun, hasil laporan investigasi RMOL.id mengungkapkan adanya pengalihan dana yang masif, di mana lebih dari 15% dana ini justru “diparkir” di obligasi. Ini adalah tindakan yang oleh para kritikus dinilai sebagai upaya mencari keuntungan jangka pendek di pasar modal (berburu kupon bunga) dan mengabaikan peran vitalnya sebagai penggerak pembangunan.

​Kritik Kunci: Pengalokasian dana dalam jumlah besar ke obligasi—yang disebut sebagai paper asset—dianggap mencederai filosofi Danantara sebagai lembaga investasi pembangunan, mengubahnya menjadi sekadar manajer investasi biasa alih-alih katalisator ekonomi.

Konflik Kepentingan yang Tak Terhindarkan: Peran Anak Luhut

​Isu deviasi mandat ini diperkeruh oleh kehadiran Pandu Patria Sjahrir sebagai Chief Investment Officer (CIO) Danantara, yang memegang kendali atas keputusan investasi strategis. Pandu dikenal publik sebagai keponakan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

​Penunjukkan seorang kerabat pejabat tinggi negara pada posisi yang mengelola triliunan rupiah uang publik telah sejak awal memicu kekhawatiran publik mengenai tata kelola yang baik (GCG) dan potensi konflik kepentingan.

  • ​Pentingnya Transparansi: Meskipun Pandu Sjahrir memiliki rekam jejak yang mumpuni di sektor investasi swasta (Venture Capital), jabatannya di Danantara menuntut standar akuntabilitas publik yang jauh lebih tinggi. Keterlibatan “anak pejabat” dalam pengelolaan dana negara besar ini membuat setiap kebijakan investasi, termasuk keputusan memborong obligasi, selalu berada di bawah mikroskop pengawasan publik.
  • ​Tanggung Jawab Publik vs Bisnis: Para pengamat menyoroti bahwa pengalaman Pandu di sektor swasta mungkin mendorongnya mengambil keputusan yang berorientasi pada keuntungan finansial cepat (return obligasi), yang bertentangan dengan mandat Danantara untuk fokus pada investasi strategis yang dampaknya baru terlihat dalam jangka 5-10 tahun.

Indikasi Ketidakselarasan di Lingkaran Pemerintah

​Ketidakselarasan antara kebijakan Danantara dan tujuan pembangunan nasional terkonfirmasi dari kritik terbuka Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya secara gamblang mempertanyakan keahlian Danantara jika mayoritas dananya hanya ditaruh di obligasi pemerintah. Ini menandakan adanya gesekan serius di tingkat pengambilan kebijakan tertinggi, di mana otoritas fiskal negara menekankan prioritas pada investasi sektor riil untuk memacu penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

​Pandu Sjahrir memang telah membela diri dengan menyebut pembelian obligasi ini bersifat sementara untuk mengoptimalkan likuiditas hingga 2025. Namun, dengan jumlah dana mencapai belasan triliun rupiah yang dialihkan, pertahanan ini dinilai kurang meyakinkan dan memperkuat persepsi bahwa Danantara sedang beroperasi di luar koridor mandat strategisnya.

(Red)