Jakarta, faktapers.id – Dua moda transportasi strategis nasional, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) dan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) yang dikelola PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sama-sama menghadapi tumpukan utang yang bernilai ratusan triliun rupiah. Namun, dalam penanganannya, pemerintah dan entitas di bawahnya, seperti Dana Kekayaan Negara (DKN) Danantara, menerapkan strategi penyelamatan yang sangat kontras, terutama terkait dengan pelibatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Total utang kedua perusahaan tersebut mencapai sekitar Rp300 triliun, dengan Garuda Indonesia berkutat pada angka sekitar Rp185 triliun (utang lama) dan Whoosh memiliki beban utang pinjaman dari China Development Bank (CDB) sebesar Rp116 triliun hingga Rp120 triliun (biaya pembangunan yang membengkak).
Kontras Skema Penyelamatan: Warisan vs. Infrastruktur Baru
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan dan jajaran BUMN, menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam merespons krisis keuangan dua raksasa transportasi ini, mencerminkan adanya pergeseran kebijakan fiskal dalam menanggulangi kerugian BUMN.
1. Garuda Indonesia: Restrukturisasi Legacy dan Suntikan Modal (Intervensi Langsung)
Garuda Indonesia, sebagai flag carrier (maskapai pembawa bendera) yang terbebani utang operasional dan legacy selama bertahun-tahun, sempat dihadapkan pada opsi pembubaran. Namun, pemerintah memilih langkah penyelamatan melalui mekanisme restrukturisasi utang terbesar dalam sejarah korporasi Indonesia.
Beban Utang: Mencapai Rp185 triliun.
Strategi Penyelamatan: Melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan suntikan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) yang bersifat langsung dari APBN sebagai bagian dari upaya restrukturisasi. Dana ini vital untuk memastikan kelangsungan operasional dan menjaga konektivitas nasional.
Peran Danantara: Anak usaha Danantara (PT Danantara Asset Manajement) kini terlibat dalam mengelola aset dan menyuntikkan modal, membantu Garuda lepas dari keterpurukan dan memperbaiki posisi ekuitas negatifnya, yang secara tidak langsung memerlukan dukungan dari struktur keuangan negara.
2. Whoosh: Utang Proyek Murni dan Jaminan Non-APBN (Tanggung Jawab Korporasi)
Berbeda dengan Garuda, utang Whoosh berasal dari pembiayaan proyek infrastruktur multilateral dengan China. Meskipun awalnya utang ini dikhawatirkan membebani APBN, pemerintah bersikeras menolak penggunaan dana negara secara langsung.
Beban Utang: Sekitar Rp116 triliun.
Solusi Utama: Negosiasi ulang utang dengan pihak China telah mencapai kesepakatan restrukturisasi tenor dari sekitar 40 tahun menjadi 60 tahun, dengan cicilan pokok yang diperkirakan sebesar Rp2 triliun per tahun, dimulai pada 2026.
Sikap Pemerintah: Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, berulang kali menegaskan bahwa utang proyek Whoosh tidak akan dibayar menggunakan APBN. Tanggung jawab penyelesaian utang diserahkan kepada DKN Danantara untuk mencari skema alternatif pembiayaan yang berkelanjutan (misalnya, melalui dividen atau manajemen aset BUMN) agar tidak membebani keuangan publik.
Meski utang besar, PT KCIC (operator Whoosh) diklaim telah mencatatkan EBITDA positif, memberikan sinyal bahwa perusahaan memiliki potensi bisnis yang kuat untuk membayar utangnya sendiri.
Perbedaan pendekatan ini menandai langkah tegas pemerintah untuk memisahkan kewajiban utang proyek infrastruktur baru dari kas negara, kecuali dalam keadaan darurat.
Risiko APBN: Kasus Whoosh menunjukkan upaya keras pemerintah untuk menahan moral hazard di BUMN infrastruktur, di mana risiko proyek harus ditanggung oleh entitas korporasi (KCIC/KAI/Danantara), bukan oleh pembayar pajak.
Peran DKN Danantara: Institusi DKN ini muncul sebagai pemain kunci. Mereka didorong untuk menggunakan aset dan dividen yang dikelola (yang disebut-sebut mencapai puluhan triliun rupiah) untuk menyelesaikan masalah utang Whoosh dan menyuntikkan dana ke Garuda, berfungsi sebagai “penyangga” yang memitigasi dampak langsung utang BUMN terhadap APBN.
Pada akhirnya, nasib kedua entitas ini akan bergantung pada keberhasilan implementasi restrukturisasi masing-masing: Garuda harus membuktikan kinerja operasionalnya pulih, sementara Whoosh harus menjaga pertumbuhan jumlah penumpang untuk membenarkan perpanjangan tenor utang 60 tahun yang telah disepakati.
[]













