Jakarta, faktapers.id – Perdebatan mengenai kelayakan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mengemuka. Ketua Umum Garuda AstaCita Nusantara, Muh. Burhanuddin, menegaskan bahwa pembahasan ini harus diletakkan dalam kerangka sejarah yang utuh dan adil, mengakui kontribusi monumental di balik kompleksitas kekuasaan Orde Baru.
Dalam paparannya, Burhanuddin menempatkan Soeharto sebagai sosok yang bertindak sebagai “prajurit yang menata kembali arah bangsa dari kekacauan” pasca-1965, menawarkan janji ketertiban dan stabilitas di tengah gejolak ideologi dan krisis ekonomi.
Fondasi Pembangunan dan Jasa yang Tak Terbantahkan
Burhanuddin menekankan bahwa jasa Soeharto selama tiga dekade kepemimpinannya adalah transformasional bagi Indonesia modern. Kontribusi yang ia soroti meliputi:
Pondasi Ekonomi Modern:
Orde Baru mengubah Indonesia dari negara agraris pasif menuju negara yang menatap industrialisasi. Pembangunan infrastruktur besar, seperti jalan raya Trans-Jawa dan Trans-Sumatera, bendungan, dan sekolah dasar Inpres, menjadi bukti nyata.
Swasembada Pangan:
Soeharto membawa Indonesia mencapai swasembada beras yang diakui dunia, sebuah pencapaian yang memberi rasa percaya diri nasional.
Kestabilan Kolektif:
Stabilitas yang diciptakan Orde Baru, meskipun dikritik karena kontrol politiknya yang ketat, memberikan ruang bagi lahirnya generasi terdidik dan fondasi ekonomi yang kelak menopang era reformasi.
”Menolak jasa Soeharto berarti menutup mata terhadap sebagian besar perjalanan pembangunan bangsa. Ia tidak hanya membangun negara, tapi juga membangun rasa percaya diri nasional,” ujar Burhanuddin, Minggu, 9 November 2025.
Kepahlawanan Bukan Tanpa Cela: Rekonsiliasi dengan Sejarah
Menanggapi kritik yang melekat pada era Orde Baru (kontrol politik dan keterpusatan kekuasaan), Burhanuddin mengajak bangsa untuk melihat sejarah secara dewasa, tidak dalam bingkai hitam-putih.
Ia berpendapat bahwa kepahlawanan tidak harus berarti tanpa cela, melainkan pengakuan atas kontribusi yang menentukan dalam perjalanan bangsa. Peran Soeharto, dalam konteks ini, adalah menjaga republik agar tidak terpecah oleh konflik ideologis dan pergolakan sosial, terutama di masa-masa paling rapuh dalam sejarah.
Menurut Burhanuddin, jika Soeharto diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, itu adalah bentuk kedewasaan bangsa dalam membaca sejarah secara adil. Itu adalah pengakuan terhadap era dan kontribusi besar yang menandai kemajuan Indonesia, alih-alih glorifikasi sosok tanpa kritik.
Pelajaran Penting Kepemimpinan
Burhanuddin menyimpulkan bahwa warisan Soeharto mengajarkan nilai-nilai yang tetap relevan: disiplin, keteguhan, dan kemampuan menciptakan arah di tengah kekacauan, serta menjaga kestabilan di tengah badai.
”Soeharto telah menjadi siluet bukan dewa, bukan pula dosa, tapi jejak manusia yang berani memikul beban sejarah bangsanya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menatap masa lalunya dengan jujur dan arif,” pungkasnya, menegaskan bahwa pengakuan kepahlawanan adalah bentuk berdamai dengan sejarah.
(Ig)













