Ekonomi Bisnis

Dilema Fiskal dan Syariah: Fatwa MUI “Pajak Berkeadilan” Menantang Struktur Penerimaan Negara

7
×

Dilema Fiskal dan Syariah: Fatwa MUI “Pajak Berkeadilan” Menantang Struktur Penerimaan Negara

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id –  Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Ancol menghasilkan sebuah fatwa yang berpotensi merevolusi kebijakan fiskal nasional, yakni penetapan konsep “Pajak Berkeadilan”. Fatwa yang diumumkan oleh Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh, pada Sabtu (22/11/2025), secara eksplisit menyatakan HARAM hukumnya bagi pemerintah memungut pajak atas barang-barang kebutuhan pokok (dharuriyat) rakyat dan dari warga negara yang kemampuan finansialnya di bawah ambang batas (nisab) tertentu.

​Fatwa ini segera menimbulkan perdebatan sengit antara tuntutan syariah untuk keadilan distributif dan kebutuhan pragmatis pemerintah untuk mencapai target penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

​Inti Fatwa: Mengubah Objek dan Subjek Pajak

​Fatwa MUI menetapkan dua pilar utama yang bertentangan langsung dengan beberapa kebijakan perpajakan saat ini:

  1. ​Objek Pajak (Bebas PPN Sembako): Barang konsumtif primer, terutama sembako (bahan pangan pokok), harus bebas dari beban pajak (misalnya, Pajak Pertambahan Nilai/PPN). MUI menilai pemungutan pajak pada kebutuhan dasar bertahan hidup (dharuriyat) sama dengan “memalak” rakyat miskin dan menengah.
  2. ​Subjek Pajak (Nisab Zakat Mal): Syarat sah dikenakannya pajak adalah warga negara harus memiliki kemampuan finansial setara dengan nisab zakat mal, yaitu setara 85 gram emas. Jika harta seseorang di bawah nisab ini, ia seharusnya bebas dari kewajiban pajak.

​Implikasi Terhadap Target Penerimaan Negara

​Penerapan fatwa ini secara harfiah akan menimbulkan tantangan besar bagi Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

  • ​Penerimaan PPN: Meskipun banyak sembako sudah mendapat fasilitas PPN dibebaskan, perluasan kategori dharuriyat bisa memangkas potensi penerimaan PPN secara keseluruhan. Kemenkeu mengandalkan PPN sebagai salah satu penyumbang terbesar APBN.
  • ​Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Fatwa melarang pengenaan pajak berulang (PBB tahunan) atas rumah dan tanah yang dihuni sendiri (non-komersial) karena aset tersebut tidak bersifat produktif. Jika PBB ditiadakan untuk rumah tinggal, penerimaan daerah (khususnya untuk Pemda) akan terpukul signifikan.

​Fatwa ini memberikan “lampu merah” kepada pemerintah: pemungutan pajak yang tidak sesuai ketentuan tersebut hukumnya HARAM, menegaskan bahwa hubungan negara dan rakyat harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan dan tujuan pajak adalah kesejahteraan.

​Proposal Progresif: Zakat sebagai Pengurang Pajak

​Poin fatwa yang paling progresif dan berpotensi memiliki implikasi legal besar adalah usulan agar zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak.

​Ini adalah konsep “keadilan partisipatif” yang bertujuan menghilangkan double charge (membayar zakat untuk membantu fakir miskin secara langsung, lalu membayar pajak penuh ke negara).

​Secara legal, jika usulan ini diadopsi, ia menuntut adanya revisi mendalam pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta Undang-Undang Zakat. Saat ini, pembayaran zakat hanya bersifat pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP), bukan pengurang langsung dari nilai pajak terutang (tax credit).

​Para ekonom syariah menyambut baik usulan ini karena mendorong kepatuhan ganda (taat zakat dan taat pajak) sambil memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil. Namun, Dirjen Pajak harus merumuskan mekanisme verifikasi yang ketat untuk memastikan zakat dibayarkan secara sah kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) resmi.

​Fatwa “Pajak Berkeadilan” ini kini menjadi tantangan terbuka bagi Menteri Keuangan dan seluruh jajaran perpajakan untuk menyeimbangkan antara target penerimaan fiskal yang ambisius dan kepatuhan terhadap prinsip keadilan syariah. Respons dari Kemenkeu dalam beberapa hari ke depan akan menentukan arah perdebatan kebijakan ini.

[]