Jakarta, Faktapers.id – Tampaknya Sindikat Mafia Tanah terus bergerilya, tak peduli siapa mangsanya, perorangan maupun BUMN. Bagi mereka lahan yang menggiurkan dan bisa diolah (rekayasa dokumen) akan jadii santapannya.
Kali ini korban sindikat mafia tanah dialami PT Pertamina. Sehingga melaporkan 4 orang ke Polda Metro atas dugaan pemalsuan dokumen. Akibatnya, Pertamina kehilangan uang senilai Rp 244 miliar.
Menurut pihak Pertamina, Kasus tersebut bermula dari sengketa tanah seluas 16 ribu meter persegi di Jalan Pemuda, Jakarta Timur, yang digunakan oleh Pertamina lewat Yayasan Jayakarta. Tanah tersebut awalnya milik pengusaha Teuku Markam, yang kemudian disita oleh negara dan dipergunakan oleh Pertamina sejak 1987.
Akan tetapi belakangan Pertamina digugat oleh orang yang mengaku sebagai ahli waris Teuku Markan. Dan saat itu, Pertamina diwajibkan membayar ganti rugi Rp 23 miliar.
“Jadi lokasinya ini total 16 ribu terbagi dalam tiga bidang (tanah). Bidang pertama itu maritim punya Pertamina. Bidang kedua itu SPBG, bidang ketiga itu ada perumahan Bappenas di situ. Yang kasus pertama tahun 1987 yang digugat bidang B saja. Menang mereka. Cuma karena ada perselisihan dan pembuktian surat kita tangguhkan pembayarannya,” ungkap pengacara PT Pertamina, Hary Ardian, saat dihubungi detikcom, Jumat (10/3/2021).
Gugatan serupa kembali muncul pada 2014. Gugatan ini muncul dari ahli waris berinisial AS, yang diketahui merupakan orang dekat Teuku Markam. Dalam gugatan tersebut Pertamina kembali kalah.
Hary mengatakan ada keanehan dalam proses gugatan kedua tersebut. Dia menyebut, saat proses eksekusi, hal yang dieksekusi oleh pengadilan justru rekening milik Pertamina.
“Eksekusi, tapi yang dieksekusi bukan tanah, tapi rekening Pertamina yang dieksekusi yang ada di BRI Cabang Veteran. Tanggal 2 Juni 2020 datang petugas dari PN Jakpus yang mendapat mandat dari PN Jakarta Timur karena rekeningnya Pertamina ada di Jakpus, makanya PN Timur harus kasih mandat ke PN pusat untuk eksekusi,” terang Hary.
“Tanggal 2 (Juni) dieksekusi tanggal 5 (Juni) uang sebesar Rp 244 miliar itu milik Pertamina itu berhasil didebet oleh PN Jakpus ke rekening Pengambilan Negeri Jakpus yang ada di BTN,” sambung Hary.
Hary dan timnya kemudian melakukan penelusuran dokumen-dokumen penggugat. Dia menyebut ada sejumlah dokumen yang diduga palsu dari gugatan kedua tersebut.
“Pertama itu ada dokumen Verponding Indonesia nomor C22, C178 dan ternyata betul kami telusuri sampai kita ke BPN, cek dan keluar dari BPN itu kalau Verponding itu tidak terdaftar. Tidak terdaftar artinya tidak bisa diproses menjadi sertifikat,” ungkap Hary.
Hary melanjutkan keanehan berikutnya. Dia mengatakan dari surat kuasa penggugat yang berjumlah enam orang pada 2014, salah satu penggugat diketahui telah meninggal pada 2013.
Selain itu, Hary mengatakan para penggugat yang mengaku dari ahli waris AS ini diketahui telah menghadirkan figur palsu. Dari temuan timnya, Hary menyebut para penggugat ini merupakan ahli waris RS Hadi Soepandi, figur yang berbeda dari AS.
“Jadi framing bahwa nama AS itu dengan RS Hadi Soepandi itu satu nama jadi para penggugat itu ahli waris daripada nama RS Hadi Soepandi. Jadi seolah-olah RS Soepandi sama dengan AS. Itu mereka mem-framing seperti itu, bahkan mengupayakan bahkan minta penetapan pengadilan. Nama ini dengan perbuatan ini, termasuk nama AS itu sama nama dengan RS Hadi Soepandi,” beber Hary.
Atas dasar itu, Pertamina kemudian melaporkan pemalsuan dokumen tersebut pada 2 Oktober 2020 ke Polda Metro Jaya. Hary melaporkan empat orang dalam perkara ini.
“Kita laporkan itu awalnya enam orang. Tapi satu orang sudah meninggal. Yang kedua yang meninggal pula di tahun 2015. Jadi dilaporkan sudah meninggal Jadi kita laporkan 4 orang,” terang Hary.
“(Dilaporkan atas) penggunaan dokumen palsu. Buktinya tadi ada surat tanah Verponding Indonesia nomor 22 dan Verponding Indonesia nomor 178. Itu kita dapat bukti dari BPN menerangkan dua dokumen itu tidak ada dan tidak terdaftar karena dokumen itu harus terdaftar, kalau tidak terdaftar tidak bisa dibuat sertifikat. Kalau tidak terdaftar kan palsu ya tapi BPN tidak memiliki kewenangan untuk bilang itu palsu. Yang bisa bilang palsu itu penyidik,” sambung dia.
Hary menambahkan, para pelaku itu diduga terlibat dalam sindikat mafia tanah. “Yang saya lihat ini mereka ini bagian ya dari mafia tanah. Bisa jadi sebagai frontliner-nya saja,” imbuh Hary.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat membenarkan adanya laporan tersebut. Dia mengatakan kasus pemalsuan dokumen tersebut masih didalami penyidik.
“Ada laporannya. Laporan adalah dugaan apakah dalam pengurusan perdata itu ada dokumen palsunya atau tidak. Ini kan berproses dulu kan nggak ujug-ujug, semuanya ini baru berjalan,” tutur Tubagus. */Red