Jakarta, faktapers.id – Dalam sepekan ini, masyarakat dikejutkan dengan aksi terorisme dan radikalisme yang secara berturut-turut terjadi di dua lokasi, yaitu di gerbang Gereja Kathedral, Makassar dan di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta. Mirisnya, kedua aksi terorisme dan radikalisme ini melibatkan perempuan sebagai pelakunya. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengungkapkan maraknya pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme, membuktikan perempuan lebih rentan terjerumus dalam jerat persoalan tersebut. Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dari seluruh elemen masyarakat, khususnya melalui penguatan ketahanan keluarga sebagai unit terkecil dan pertahanan pertama dalam masyarakat.
“Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” ungkap Ratna dalam sesi wawancara dengan salah satu stasiun televisi (TV) swasta (02/04).
Ratna menambahkan kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang, sehingga mereka kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme. “Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” jelas Ratna.
Lebih lanjut Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga. “Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru. Oleh karena itu orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan,” terang Ratna.
Untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri. “Pentingnya sinergi semua pihak baik civil society (masyarakat sipil) untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan, khususnya dengan melakukan sistem deteksi dini (early warning system) karena persoalan terorisme dan radikalisme ini merupakan tantangan besar kita dalam menghasilkan SDM berkualitas. Mari kita bersinergi lindungi perempuan dari bahaya terorisme dan radikalisme, demi mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada 2045. Jika perempuan berdaya, anak terlindungi, saya yakin Indonesia pun akan maju,” tegas Ratna.
Senada dengan Ratna, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid menekankan pentingnya memperkuat civil society dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam memerangi adanya pemahaman dan ideologi menyimpang yang mengarah pada aksi terorisme dan radikalisme. “Setiap orang berpotensi memiliki pemahaman radikal, disinilah pentingnya ajaran dalam bentuk narasi dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengandung budi pekerti, pembangunan karakter, serta nilai-nilai positif, supaya masyarakat kebal terhadap ancaman pemahaman radikal,” ujar Akhmad.
Akhmad menambahkan adanya anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami, cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya. Menindaklanjuti persoalan ini, BNPT telah berupaya menanggulanginya, diantaranya dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah dibentuk di 32 Provinsi untuk melakukan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan, dan anak.
“Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” tutup Akhmad. Her