Headline

Begini Respon Sultan Hamengku Buwono Terkait Serangan 1 Maret

357
×

Begini Respon Sultan Hamengku Buwono Terkait Serangan 1 Maret

Sebarkan artikel ini

Faktapers.id – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan bahwa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 lahir dari bersatunya banyak tokoh dan masyarakat, bukan hanya peran satu orang tokoh saja.

Hal itu dia sampaikan ketika jadi keynote speaker dalam acara ‘Memahami Keppres Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara’ yang diadakan secara daring pada Senin (7/3).

“Serangan Umum 1 Maret lahir dari manunggalnya (bersatunya) banyak tokoh-tokoh dan golong-gilignya (gotong-royong) seluruh masyarakat dalam spirit satya wacana mahardika,” kata Sri Sultan.

Sultan juga mengatakan bahwa terbitnya Keppres No 2 tahun 2022 telah menjadi historical asset atau aset sejarah nasional bagi Bangsa Indonesia.Hal ini menurutnya juga jadi momentum penting untuk Pemerintah dan warga DIY untuk lebih memaknai lagi nilai-nilai perjuangan para tokoh yang berperan di Serangan Umum 1 Maret tersebut.

Nilai-nilai perjuangan tersebut, menurut Sultan perlu untuk terus dipelihara sebagai sumber kekuatan semangat kebangsaan untuk menapaki masa depan di tengah perkembangan zaman yang tidak terelakkan.

“Sekarang ini kita hidup di suatu masyarakat yang terus bergerak dinamis, maka akan dihadapkan semakin susutnya para pelaku sejarah, dan semakin jauhnya jarak antara peristiwa sejarah tersebut dengan generasi di masa depan,” ujarnya.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN) dirumuskan tanpa penokohan terhadap figur tertentu yang dianggap memainkan peran sentral dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Menurutnya justru penetapan HKPN bertujuan mengingatkan kembali pentingnya seluruh komponen bangsa untuk bersatu mewujudkan cita-cita Revolusi 1945.
“Mengapa disebut Hari Penegakan Kedaulatan Negara padahal sudah Proklamasi pada 17 Agustus 1945? Karena peristiwa 1 Maret 1949 atau yang dikenal sebagai peristiwa 6 jam di Jogja ini adalah satu rangkaian sejak Proklamasi itu,” katanya.

Paska Proklamasi Kemerdekaan, Belanda masih terus melanggar perjanjian dan kedaulatan Republik Indonesia. Perjanian Linggarjati dilanggar Belanda dengan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Perjanjian Renvile kembali dilanggar dengan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.

“(Maka) Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan sebuah langkah dan strategi yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi atas kedaulatan Republik Indonesia di level nasional maupun internasional,” kata Dian Laksmi.

Di naskah akademik dijelaskan bahwa di antara serangan umum-serangan umum yang lain, Serangan Umum 1 Maret di Ibu Kota Republik di Yogyakarta, adalah serangan dengan kemenangan politis paling baik. Setelah itu lahir perundingan Rum-Roijen yang membuka jalan bagi Hari Yogya Kembali pada 29 Juni 1949 saat pasukan Belanda meninggalkan Yogya dan TNI masuk kota Yogya. Dan kemudian terbukalah jalan bagi Konferensi Meja Bundar (KMB) yang membebaskan Indonesia dari Belanda.

Di kesempatan yang sama, Dian juga menerangkan bahwa pengusulan momentum Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai HPKN sudah dilakukan sejak 2018 silam oleh Gubernur DIY.

Untuk merumuskan hal tersebut, Pemda DIY melibatkan kalangan akademisi, sejarawan, serta komunitas dan paguyuban sejarah, untuk merumuskan naskah akademik penetapan HPKN tersebut.

Dalam naskah akademik penetapan HPKN, tercantum sejumlah nama sebagai tim penyusun. Beberapa nama tersebut di antaranya Sri Margana, Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, dan Ahmad Faisol.

Pada halaman 73 huruf D dengan judul ‘Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur dalam Keputusan Presiden’, dijelaskan juga bahwa kajian akademis tersebut telah diseminarkan pada lingkup daerah dan nasional dalam berbagai seminar yang melibatkan para pakar sejarah dari berbagai perguruan tinggi.

“Antara lain, Sri Margana (UGM), Julianto Ibrahim (UGM) Prof Nina Herlina Lubis (Unpad), Prof Gusti Asnan (Unand), Dr Suryadi Mapangara (Unhas), Dr Abdul Syukur (UNJ), Hilmar Farid (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat), Prof Mahfud MD (Menko Polhukam), Prof Wildan (Staf Ahli Setneg) merekomendasikan agar peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dijadikan sebagai Hari Nasional,” tulis naskah akademik tersebut. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *