Jakarta, faktapers.id –Untuk mengembangkan tenaga Penata Anestesi Indonesia sesuai standar Internasional, sehingga dapat berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan seluruh masyarakat Indonesia yang sehat, mandiri dan berkeadilan, mudah di akses serta profesional, Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) meminta kepada institusi Pendidikan untuk patuhi regulasi dan terus bersinergi dengan OP (Organisasi Profesi).
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum DPP IPAI, Dra. Dorce Tandung, MSi pada pergelaran kegiatan Sosialisasi Standar Kompetensi Kerja Bidang Kepenataan Anestesi dan Asuhan Kepenataan Anestesi
Dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi Ikatan Penata Anestesi Indonesia di Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Jakarta Kampus Hang Jebat, Jakarta Selatan, Jumat, (26/1/2023).
Menurut Dorce, keberadaan IPAI sebagai Organisasi Profesi merupakan wadah untuk melakukan pembinaan terhadap seluruh Penata Anastesi di Indonesia. Pada perinsipnya, IPAI menjadi mitra pendamping dokter spesialis Anestesi di rumah sakit seluruh Indonesia dengan beragam tipe atau jenis. Hal tersebut tertuang melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi. Oleh karenanya IPAI menyelenggarakan Ukom (Uji Kompetensi) dan mengeluarkan serkom (sertifikat Kompetensi) yang dapat memberikan rekomendasi untuk mendapatkan STR (Surat tanda Registrasi) dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Dalam penjelasannya, Dorce Tandung mengatakan bahwa nantinya, sosialisasi standar kompetensi kerja bidang kepenataan anestesi yang akan dijadikan rujukan oleh Penata Anestesi dalam rangka pengembangan kompetensi.
“Jadi, IPAI telah difasilitasi oleh Sekretaris Konsil Tenaga Kesehatan untuk menyusun draf standar kompetensi kerja bersama Kemenakertrans. Pada akhir Desember lalu sudah final. Sehingga mulai hari ini akan disosialisasikan keseluruh pengurus pusat hingga 34 daerah beserta institusi penyelenggara program studi sarjana terapan keperawatan Anestesi Indonesia yang saat ini jumlahnya 14 institusi. Jadi kemitraan penyelenggara program studi dengan IPAI harus terus dibangun. Karena itu sesuai dengan regulasi yang berlaku,” papar Dorce.
Sementara itu, Diono Susilo, Sekretaris Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mengatakan, menyikapi perkembangan tenaga kesehatan di Indonesia sudah ada aturan terkait pengelolaan dan menjaga mutu kesehatan.
“Jadi sudah ada regulasinya ya itu dengan sertifikasi kelulusan dan sertifikasi kompetensi. Dengan adanya sertifikasi maka selanjutnya melakukan registrasi dengan surat tanda registrasi yang akan dikeluarkan oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Inilah yang menjadi jaminan bahwa seorang tenaga kesehatan tersebut teregistrasi sebagai tenaga kesehatan yang sudah terjamin mutunya. STR inilah yang menjadi dasar surat ijin praktek (SIP). SIP ini menjadi dasar saat mereka memberikan pelayanan keprofesiannya. Jadi, tenaga kesehatan harus bekerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Artinya tidak mengambil kewenangan-kewenangan tenaga kerja yang lain,” kata Diono.
Ditempat yang sama, Megawati Santoso yang mewakili Direktorat Akademi Pendidikan Tinggi Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Riset dan Teknologi memaparkan bahwa IPAI sebagai organisasi profesi harus independen dan betul-betul tidak boleh berpengaruh dalam menyampaikan materi ujinya.
“Jadi organisasi profesi bisa saja membuat sebuah kompartemen (organisasi yang mengurusi suatu bidang tertentu) value untuk bisa melihat suatu relevansi pengetahuan yang mumpuni. Contoh, IPAI adalah pemberi sertifikat toeflnya (tes yang terstadarisasi untuk mengukur kemampuan), tapi IPAI harus independen tak boleh terpengaruhi,” papar Megawati Santoso.
Senada dengan Dorce, Rektor Institut Teknologi, Sains dan Kesehatan RS DR. Soepraoen Malang, Arief Efendi mengatakan Institusi penyelenggara pendidikan keshatan harus berpikir panjang. Sebab ujung-ujungnya nanti Institusi pendidikan kesehatan itu akan butuh Organisasi Profesi. IPAI sebagai satu-satunya organisasi profesi yang diakui oleh regulasi pemerintah seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Meski ada yang lain, tetap yang di pandang dan menjadi rujukan adalah IDI. Begitu juga dengan IPAI.
“Boleh saja. Itu hak asasi untuk tidak bekerjasama antara institusi pendidikan kesehatan dengan IPAI. Itu berpikirnya tidak panjang. Endingnya tetap butuh nanti. Terutama nanti saat mahasiswanya ada praktek dilapangan. Dirumah sakit itu pendukung atau pendamping keterampilan dibidang kepenataan Anastesi itukan anggota-anggota IPAI. Itulah yang perlu dipikirkan,” kata Arief Efendi.
Menurut Arief, meski baru mendalami IPAI, dirinya sudah mendapatkan manfaat keberadaan IPAI. Khususnya IPAI Jawa Timur. Saat instansinya membutuhkan pendirian kepenataan anastesi, IPAI ada untuk mendukung dan mendampingi tenaga keterampilan dan sebagainya pada institusi pendidikan yang di dirikannya.
“Kalau dosen yang sifatnya umum masih bisa saya. Tapi kalau untuk keterampilan anastesi itu perlu orang-orang Peneta Anastesi yang mumpuni dan praktek langsung. Makanya saya tidak bisa melepas itu. Berpikirlah yang panjang. Berpikir sesuai koridor aturan. Kita itu bekerja ada aturan. Apa lagi kalau orang pendidikan yang digemborkan adalah supremasi hukum. Kita lihat regulasi perundang-undangannya. Kita lihat siapa yang punya wewenang dalam hal menuntun baik teori mau pun praktek. Kalau institusi pendidikan menelurkan produk mahasiswa yang akan lulus dan bekerja itukan harus disumpah oleh pemuka agama masing-masing dan oleh organisasi profesi. Kalau tidak ada itu otomatis STRnya bagaimana, gak bisa bekerja kan. Makanya, harus panjang pola pikirnya. Jangan sampai mengorbankan anak didik kita,” pungkas Arief.
(HW)