Jakarta, Faktapers.id -Terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait amar putusan yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan dari Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut keputusan PN Jakarta Pusat buat sensasi berlebihan.
Putusan PN Jakarta Pusat ini terkait gugatan Prima atau Partai Rakyat Adil Makmur yang dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2024.
Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan perdata yang diajukan Partai Prima, menyatakan Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
PN Jakpus menyatakan Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU.
“Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yang berlebihan. Masak, KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dlm perkara perdata oleh PN,” ucap Mahfud MD dikutip akun Instagram pribadinya, Kamis (2/3/2023).
Menurutnya, vonis itu salah.Mahfud menjelaskan logika sederhananya.
“Mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar,” katanya.
“Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan secara hukum. Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” terangnya.
Mahfud MD menjelaskan empat alasan hukum terkait putusan PN Jakpus tersebut.
Sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.
“Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum scr perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dlm pelaksanaan pemilu,” tandas Mahfud.
Hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri sebagai kasus perdata.
Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia..
“Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” kata Mahfud.
Menurut saya, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU.
Penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertententang dengan UU, tetapi juga bertentangan dgn konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.
“Kita harus melawan scr hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkasnya.
***