Klaten, faktapers.id – Ketua Dewan pembina Yayasan El-Yaomy Klaten KH.Syamsuddin Asyrofi menyampaikan bahwa saat ini masih dalam suasana lebaran yang dirayakan umat muslim adalah momen yang istimewa dengan memperbanyak bermaaf-maafan.
Namun, dalam benak hati terkadang orang masih bertanya-tanya apa arti dari halal bihalal.
“Para pakar selama ini tidak menemukan dalam Al-Qur’an atau Hadits sebuah penjelasan tentang halal bi halal. Istilah itu memang khas Indonesia. Bahkan boleh jadi pengertiannya akan kabur di kalangan bukan bangsa Indonesia, walaupun mungkin yang bersangkutan paham ajaran agama dan bahasa Arab,” katanya, saat acara halal bi halal keluarga besar Yayasan El-Yaomy di Gedung Al-Barokah Tegalrejo Ceper Klaten Rabu, (17/5/202 )
Menurut Syamsuddin Asyrofi yang juga sebagai ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Klaten istilah halal bi halal muncul secara historis dan filosofis oleh salah seorang Pendiri NU Kiai Abdul Wahab Chasbullah.
“Istilah halal bi halal itu oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah awalnya untuk menyatukan bangsa Indonesia yang sedang dilanda konflik bersaudara sehingga harus menyajikan bungkus baru yang menarik agar mereka mau berkumpul dan menyatu saling maaf-memaafkan,” katanya.
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bi halal Syamsuddin mengutip dari Pakar Tafsir Al-Qur’an Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas Kiai Wahab Chasbullah tersebut.
“Pertama, dari segi hukum fiqih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bi halal akan memberikan kesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.” ujarnya.
Dengan demikian, kata Syamsuddin halal bi halal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap kita yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bi halal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan.
” Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, Apakah yang dimaksud dengan istilah halal bi halal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh,” katanya.
Dikatakan secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama, walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, dan dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala.
“Kedua, Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.” katanya.
Dengan demikian menurut Syamsuddin jika kita memahami kata halal bi halal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali.
“Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.” terangnya.
Sedangkan yang ketiga halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.
“Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya,” pungkasnya.
Kegiatan halal bi halal Keluarga besar Yayasan El-Yaomy ini menurut ketua panitianya Lupi Mainingsih merupakan agenda tahunan untuk menjalin tali silaturrahmi antar keluarga besar Yayasan.
(Madi)