Faktapers.id Jakarta – Desakan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan cawe-cawe pada proses Pemilihan Umum 2024, masih terus menggelinding. Yang teranyar, desakan dihembuskan Perhimpunan Pelajar Indonesia dari Universitas Utrecth, Belanda, dua hari sebelum pemungutan suara. Kemarin, merekan menyampaikan pernyataan sikap serta menuntut presiden lalu jajaran kabinetnya menghentikan penyalahgunakan kewenangan untuk mempertahankan kekuasaan.
Adapun pemungutan pengumuman akan berlangsung pada Rabu besok, 14 Februari 2024.“Presiden Joko Widodo secara konsisten menunjukkan praktik berdemokrasi yang dimaksud abai etika dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh pelopor negara,” kata Ketua PPI Utrecth Hanif Abdul Halim pada deklarsi dan juga pernyataan sikap PPI Utrecth secara daring, Senin, 12 Februari 2024.
Hanif mengungkapkan pernyataan sikap yang digunakan merek ungkapkan dilaksanakan melawan perasaan khawatir terhadap krisis demokrasi lalu etika yang mana terjadi pada Indonesia menjauhi Pemilihan Umum 2024. Mereka menilai puncak dari krisis etika terlihat pada waktu proses pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang mana mendapatkan jalan mulus lewat putusan Mahkamah Konstitusi 90/PUU-XXI/2023.
Putusan itu memberi ruang Gibran yang digunakan baru belum berusia 40 tahun untuk forward pada Pemilihan Persiden 2024. Gibran dipilih menjadi calon delegasi persiden untuk mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
“Pelanggaran prinsip imparsialitas hakim pada perkara ini menjadi catatan penting lalu menentukan hidup berdemokrasi di area Indonesia untuk lima tahun yang akan datang,” ujarnya.
Rencana pernyataan sikap yang digunakan disampaikan pelajar Utrecht ini, kata dia, semakin menguat pasca merek mencermati film dokumenter Dirty Vote, setelah tayang di dalam YouTube Dirty Vote pada 11 Februari 2024. Berdurasi 1 jam 55 menit 22 detik, film itu menampilkan tiga ahli hukum tata negara yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan juga Feri Amsari
Tiga ahli hukum itu mengurai beberapa orang data juga pelanggaran hukum dan juga kecurangan pilpres ketika ini, mulai dari proses verifikasi partai yang dimaksud bermasalah hingga putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, yang memberikan karpet merah untuk Gibran menjadi calon perwakilan presiden dari Koalisi Indonesia Maju.
Menurut dia, film yang disebutkan telah dilakukan menunjukkan fakta-fakta yang menguatkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan, anggaran negara, kemudian jabatan untuk kepentingan memenangan pasangan Prabowo-Gibran. Bahkan skenario untuk mengungguli pasangan yang didukung presiden itu dilaksanakan secara terstruktur, masif, dan juga sistematis. “Desain TMS (tersetruktur, masif, dan juga sistematis), itu terlihat dari analisa tiga dosen tata negara di film Dirty Vote,” ujarnya.
Selain pernyataan sikap PPI Utrecht, pernyataan sikap juga masih terus diadakan di tempat beberapa tempat di tempat Indonesia. Kemarin, banyak elemen rakyat yang mana mayoritas berasal dari kalangan pelajar menyelenggarakan Aksi Gejayan Memanggil di area pertigaan Gejayan, Depok, Daerah Sleman, Yogyakarta. Mereka bergerak menyebabkan beberapa spanduk hingga poster berisi kritikan terhadap pemerintahan Jokowi.
“Kita dipaksa memilih pada pilihan yang digunakan sudah ada ditentukan oleh lingkaran oligarki itu sendiri, serta bahkan pilihan yang mana tersedia tiada layak untuk dipilih,” Juru Bicara Jaringan Gugat Demokrasi, Sana Ulaili.
Adapun aksi kampus mengkritisi pemerintahan Jokowi bermula dari pernyataan sikap guru besar lalu dosen UGM pada Petisi Bulaksumur pada 31 Januari lalu. Mereka mengoreksi Jokowi serta mendeklarasikan sikap agar Presiden bersikap netral pada pemilihan raya 2024. Lebih dari 50 perguruan tinggi negeri lalu swasta telah lama mendeklarsikan sikap yang tersebut serupa.
(*)