Hukum & Kriminal

Suku Awyu Papua Berharap MA Menjatuhkan Putusan Hukum yang Melindungi Hutan Adat Mereka

7
×

Suku Awyu Papua Berharap MA Menjatuhkan Putusan Hukum yang Melindungi Hutan Adat Mereka

Sebarkan artikel ini
Suku Awyu Papua di depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Senin (27/5/2024) pekan lalu.

Jakarta, faktapers.id ~ Hutan adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan suku Awyu di kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, dan suku Moi di kabupaten Sorong, Papua Barat, terancam hilang akibat pembukaan lahan perkebunan sawit.

Media sosial dalam beberapa hari terakhir diramaikan dengan unggahan poster bertuliskan “All eyes on Papua”. Makna dari “All eyes on Papua” secara bahasa Indonesia adalah “semua mata tertuju pada Papua”. Ungkapan ini mencerminkan bahwa Tanah Papua sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Kampanye “All eyes on Papua” pun semakin menjadi sorotan publik dan mendapatkan momentum setelah para pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan Moi bersama solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat melakukan aksi protes diiringi ritual adat dan doa di depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Senin (27/5/2024) pekan lalu.

Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, mengatakan, lewat aksi damai ini, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap MA menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.

“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke ibu kota negara untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” ujarnya, Senin (3/6/2024).

Hendrikus menggugat pemerintah provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro, bagian dari suku Awyu.

Namun gugatannya kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di MA adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun.

Selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami. Jadi, kami menolaknya,” kata Rikarda Maa, perempuan adat Awyu.
Adapun suku Moi sub suku Moi Sigin di kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.

Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.

“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu. Hutan adalah apotek bagi kami. Kebutuhan kami semua ada di hutan. Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?,” kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi.

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua yang terdiri dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Satya Bumi, dan Perkumpulan HuMa mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.

Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di tanah air.

Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi. Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi, tapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka.
Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan yang dijatuhkan sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum.

“Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua. Kami mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim,” kata Sekar Banjaran Aji, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.

[