Oleh : Hendra J Kede
Wakil Ketua Bidang Orhanisasi PWI Pusat / Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI periode 2017-2022
Surat pengusiran oleh Dr. Ninik Ketua Dewan Pers terhadap PWI yang diakui oleh negara melalui Surat Keputusan Menkumham nomor : AHU.0000946.01.08 Tahun 2024 dan belum ada peruhahan SK Menkumham tersebut sampai tulisan ini dibuat mengingatkan penulis pada pengalaman penulis beberapa tahun lalu.
Pengalaman saat penulis menjadi Ketua Tim Perumus Peraturan Komisi Informasi tentang Keterbukaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang kemudian diundangkan sebagai Peraturan Komisi Infornasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP).
Selama proses penyusunan peraturan yang akan mengatur terkait Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah senilai kurang lebih Rp. 1.400 Triliyun per tahun tersebut penulis mendapat masukan dari tangan pertama semua pihak terkait, baik pada tahap penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM), penyusunan Naskah Akademis (NA), maupun pada saat perumusan norma peraturan pasal per pasal.
Masukan itu terutama dari 3 (tiga) unsur penting dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah termasuk dan tidak terbatas pada pengelolaan Barang Milik Pemerintah yaitu unsur pemerintah, unsur swasta, dan unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Masukan dari pemerintah salah satunya dari Pimpinan Tinggi Madya (eselon Ia) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), pelaku usaha ada beberapa, dan LSM salah satunya dari Indomesia Corruption Watch (ICW).
Satu hal yang tertanam pada diri penulis setelah mendengar penjelasan ketiga unsur diatas adalah bahwa Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, pengelolaan Barang Milik Pemerintah, penentuan peruntukan penggunaan Barang Milik Negara termasuk dan tidak terbatas penggunaan gedung dan ruang, penghapusan Barang Milik Negara dari catatan aset, semuanya adalah kewenangan pejabat birokrat negara (PNS) yang ditugaskan dan diberi wewenang untuk itu, tidak lain selain dari pada itu.
Penulis pernah bertanya sebagai pimpinan rapat, apakah penulis selaku unsur pimpinan komisi independen negara bernama Komisi Informasi Pusat tidak punya kewenangan legal tentang itu?
Jawabannya, tidak. Kewenangan itu dimiliki oleh Sekretaris Sekretariat Komisi Informasi Pusat yang merupakan pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Eselon IIa yang sekaligus sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dibantu oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Ketentuan ini berlaku juga pada semua lembaga independen negara yang merupakan kuasi Kemenkominfo yang lain yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers.
Tidak sampai disitu, ketentuan ini juga berlaku pada semua Lembaga Negara Non Struktural (LNS) seperti KPK, KPU, KPPU, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Bawaslu, dan lain sebagainya, walaupun sekretariatnya dipimpin oleh pejabat eselon Ia yaitu Sekretaris Jenderal.
Ingatan itulah yang membuat penulis berfikir, ada apa dengan Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers ini yang katanya pernah jadi Sekretaris Komnas Perempuan dan berlatar pendidikan hukum mengeluarkan surat pengusiran kepada PWI Pusat yang diakui negara padahal itu bukan wewenangnya sama sekali, walaupun dengan embel-embel keputusan pleno Dewan Pers sekalipun.
Bukankah kewenangan hukum itu ada pada Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo selaku pengelola aset Barang Milik Negara bernama Gedung Dewan Pers yang dalam pengelolaan sehari-harinya telah dilimpahkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran Dewan Pers yaitu Sekretaris Dewan Pers yang merupakan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kemenkominfo yang diberi tugas, fungsi, dan wewenang hukum untuk itu?
Penulis pernah bertanya agak vulgar kepada pejabat LKPP apakah memungkinkan UU organik yang mengatur Lembaga Non Struktural seperti KIP, KPI, Dewan Pers, dan lain-lain memiliki tafsir bahwa Komisioner selaku pimpinan memiliki kewenangan terkait pengelolaan aset Barang Milik Negara?
Jawabannya cukup jelas dan ringkas. Tidak ada ruang dalam Undang-undang manapun untuk ditafsirkan bahwa pimpinan sepanjang dimaknai Komisioner atau sebutan lain memiliki kewenangan terkait pengelolaan aset Barang Milik Negara, beriringan dengan itu mereka juga tidak bisa dimintai pertanggung-jawaban terkait itu karena memang bukan wewenangnya.
Kalaupun pimpinan Komisioner berfikiran perlu adanya pengelolaan aset Barang Milik Negara tertentu seperti penggunaan dan penempatan, mereka hanya dapat menyampaikan kepada Sekretaris atau Sekjen Sekretariat LNS tersebut selaku Kuasa Pengguna Anggaran dan selaku pengelola aset Barang Milik Negara. Proses dan keputusan ada ditangan Sekretaris atau Sekjen, tidak pada Komisioner atau sebutan lain.
Kembali kepada surat Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers yang mengusir PWI yang diakui negara dari lantai 4 Gedung Dewan Pers, Jln Kebon Sirih 34 Jakarta Pusat bahkan sampai ada aksi penggembokan di subuh buta saat matahari belum terbit yang dilakukan berdasar surat Dr. Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers kepada PWI.
Selesai aksi pemasangan rantai dan penggembokan serta penempelan segel pada pintu akses keluar masuk satu-satunya kantor PWI Pusat lantai 4 Gedung Dewan Pers oleh segerombolan orang yang mengaku dari kepengurusan PWI hasil KLB abal-abal dimana pada seger tertulis nama Zulmansyah Sekedang dan pengurungan pucuk pimpinan tertinggi PWI yang sah dan dapat pengakuan dari Menkumham dan kemudian gembok rantai tersebut dapat dibuka kembali dihadapan Polisi Polsek Gambir, terjadilah hal yang lebih memalukan lagi.
Bagaiman tidak, Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers tidak kunjung datang memenuhi undangan Penasehat Hukum PWI Pusat untuk mengklarifikasi suratnya tersebut dari sisi hukum, bahkan pesan WA dari Ketua Umum PWI, Hendry Ch Bangun, mulai diabaikan tak dijawab, sampai tengah malam hari Selasa, 1 Oktober 2024, batas akhir 1 hari PWI harus mengosongkan kantor.
Penasehat Hukum ingin mengklarifikasi beberapa hal, setidaknya 2 hal :
Pertama, kewenangan Dr. Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers mengeluarkan surat pengusiran itu.
Kedua, mempertanyakan motif perbuatan yang terkesan bar-bar dan otoriter Dr. Ninik Rahayu yang memberi batas waktu hanya 1 (satu) hari saja untuk mengosongkan kantor.
Penggembokan Subuh dan Pemutusan Listrik
Selasa malam, Pengurus inti PWI Pusat memutuskan untuk mendatangi Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers pada hari Rabu, 2 Oktober 2024 pagi guna keperluan klarifikasi tersebut.
Namun betapa kagetnya pimpinan PWI ketika dapat laporan dari penjaga kantor bahwa subuh-subuh hari Rabu, 2 Oktober 2924, ada orang yang mengaku ditugaskan Dewan Pers melaksanakan Surat Dr. Ninik Rahayu mengatasnamakan Dewan Pers untuk memasang gembok di pintu akses masuk satu-satunya kantor PWI.
Sampai disitu? Tidak. Tindakan penggembokan itu diiringi dengan pemutusan aliran listrik ke lantai 4 gedung Dewan Pers yang merupakan kantor resmi PWI Pusat semenjak gedung itu ada, akhir 1970-an.
Kami pengurus PWI Pusat tentu terheran-heran tak habis pikir, sedemikian beringasnya dan bar-barnya Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers ini menggunakan kekuasaannya sebagai Ketua Dwwan Pers? Apa motif sesungguhnya?
Sebagai seorang Doktor hukum apakah dia tidak tahu bahwa dia sama sekali tak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan itu semua terkait Barang Milik Negara atau pura-pura tidak tahu?
Apakah sebagai seorang Doktor Hukum dan Ketua Dewan Pers dia tidak tahu bahwa tidak ada satu pasalpun dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun dalam Statuta Dewan Pers yang memberi kewenangan kepadanya untuk bertindak sebagai Penguasa Barang Milik Negara. Apakah beliau ini salah dalam membaca dan memahami saja Pasal 15 UU Pers? Nampaknya begitu.
Pengurus PWI Pusat hanya bisa mengurut dada dan beristighfar, kok ada Ketua Dewan Pers yang demikian bar-bar. Orang disuruh keluar pindah kos saja diberi waktu sebulan sebelumnya. Ini malah hanya 1 hari langsung main gembok saat semua dokumen PWI masih berada dalam kantor itu.
Kadang terpikir oleh penulis, dosa apa yang telah dilakulan insan pers Indonesia sehingga harus diuji dengan Ketua Dewan Pers yang berperilaku bar-bar seperti ini.
Pada waktu lain muncul juga pikiran nakal lainnya pada penulis, apakah ini ada hubungannya dengan Dewan Pers yang akan membentuk semacam Tim Seleksi untuk memilih Anggota Dewan Pers 2025-2028 dan ada yang mencoba meraba-raba bagaimana sikap Ketum PWI Hendry Ch Bangun karena PWI sesuai Statuta Dewan Pers punya hak suara dalam Timsel dimaksud.
Namun penulis cepat-cepat membuang pikiran itu agar pikiran tetap jernih melihat persoalan yang terjadi.
Bersambung….. (Rombongan pimpinan PWI gagal temui Dr. Ninik Rahayu Ketua Dewan Pers) ***