Opini

Konflik di Masyarakat Dipicu Politik Negara?

12
×

Konflik di Masyarakat Dipicu Politik Negara?

Sebarkan artikel ini

Oleh: A. Zaini Bisri

Jurnalis Senior dan Dosen FISIP Universitas Pancasakti Tegal

Konflik yang terjadi di sejumlah organisasi sosial merebak setelah perhelatan pesta demokrasi Pemilu 2024. Setidaknya tiga organisasi sosial, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dilanda konflik internal yang menyita perhatian publik.

NU adalah ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Kadin merupakan organisasi para pengusaha yang menjadi mitra startegis pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Sedangkan PWI merupakan organisasi wartawan tertua dan terbesar di Indonesia. Kadin dan PWI sama-sama sebagai organisasi profesi yang didirikan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi para anggotanya.

Penyebab atau pemicu konflik di masing-masing organisasi tersebut sudah kita ketahui bersama. Konflik di NU dipicu oleh pembentukan Pansus Haji di DPR untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan kuota haji tambahan tahun 2024 oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Inisiator pembentukan Pansus Haji adalah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang juga Ketua Tim Pengawas Haji 2024.

Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menganggap Pansus Haji menyasar pribadi Menag Yaqut yang juga adiknya. Ia bersama pengurus PBNU yang lain kemudian melakukan resistensi terhadap Pansus Haji. Jelas bahwa yang dilawan adalah Muhaimin Iskandar sebagai pencetus pansus.

Persaingan Politik

Dari sini diketahui penyebab konflik adalah persaingan politik pada Pilpres 2024. Sudah menjadi rahasia umum bahwa PBNU dan PKB berbeda pilihan politik saat itu. PBNU mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sedangkan PKB memajukan Muhaimin sebagai cawapresnya Anies Baswedan.

Tentu saja PBNU sebagai ormas bukan dalam kapasitasnya untuk dukung-mendukung dalam pilpres. Hal itu dinyatakan secara verbal namun berbeda dalam kenyataan di lapangan. Posisi ini tentu dibaca oleh warga NU pendukung pasangan Anies-Muhaimin. Merekalah yang kemudian bergerak mewacanakan Muktamar Luar Biasa (MLB) NU untuk mengganti Ketua Umum Yahya Cholil dan Sekretaris Jenderal Saifullah Yusuf.

Konflik ini masih terus berlangsung. Apakah konflik akan berlanjut ataukah akan muncul resolusinya tampaknya tergantung dari eksistensi Pansus Haji. Untuk sementara pansus berakhir dengan melahirkan sejumlah rekomendasi, karena masa jabatan anggota DPR periode 2019-2024 sudah habis. Pansus bisa saja berlanjut atau tidak tergantung anggota DPR yang baru.

Persaingan politik juga menjadi penyebab konflik di Kadin. Pendorong digelarnya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Kadin yang memilih Anindya Bakrie sebagai ketua umum periode 2024-2029 adalah karena Arsjad Rasjid pernah menjadi ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud Md pada Pilpres 2024.

Arsjad adalah ketua umum Kadin periode 2021-2026. Meskipun selama menjadi ketua TPN Ganjar-Mahfud tidak aktif sebagai ketua umum Kadin, dia tetap dianggap melanggar AD/ART organisasi. Arsjad pun melawan dengan berkirim surat ke Presiden Jokowi dan menyebut munaslub kubu Anindya tidak sah karena melanggar Keppres Nomor 18 Tahun 2022 tentang Persetujuan Perubahan AD/ART Kadin.

Beruntung muncul Bahlil Lahadalia yang menengahi kedua belah pihak. Dalam pertemuan yang dimediasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu, Arsjad dan Anindya sepakat untuk menggelar munas yang dipercepat. Sementara menunggu munas, Anindya menjadi ketua umum dan Arsjad ketua Dewan Pertimbangan.

Konflik PWI

Konflik PWI berawal dari masalah pengelolaan keuangan. Kepengurusan PWI Pusat periode 2023-2028 di bawah Ketua Umum Hendry Ch Bangun yang terpilih dalam Kongres XXV di Bandung, September 2023, mendapatkan bantuan dana dari Forum Humas BUMN senilai Rp 6 miliar. Dana ini untuk mendukung kegiatan Uji Kompetisi Wartawan (UKW) di 30 provinsi.
Muncul kecurigaan bahwa sekitar Rp 2,9 miliar dari Rp 6 miliar itu dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, terutama untuk cash back, fee atau potongan yang lain. Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat Sasongko Tedjo yang juga terpilih di Kongres XXV bergerak dengan meminta klarifikasi pengurus.

Konon Hendry tidak hadir saat dimintai klarifikasi. DK kemudian memberi peringatan keras yang diikuti dengan pemecatan Hendry sebagai anggota PWI. Merasa rapat pleno DK dan pemecatan atas dirinya tidak prosedural, sedangkan cash back yang dituduhkan sebagai korupsi sudah dikembalikan ke kas PWI, Hendry membalas dengan memecat Sasongko dan sejumlah anggota DK lainnya.

Konflik memuncak dengan terselenggaranya KLB pada Agustus 2024 dengan ketua umum terpilih Zulmansyah Sekedang dan Ketua DK Sasongko. Zulmansyah adalah mantan Ketua PWI Riau dan Ketua Bidang Organisasi dalam kepengurusan Hendry.

Menyikapi hasil KLB, pihak Hendry melawan. Dia bersikeras bahwa kepengurusannya yang sah sesuai SK Kemenkumham dan bahwa KLB diselenggarakan tidak sesuai PD/PRT PWI. Terjadilah dualisme kepemimpinan di PWI saat ini yang tentu saja membingungkan para anggota PWI.

Situasi bertambah runyam ketika muncul intervensi dari Dewan Pers. Bermaksud menengahi kedua kubu, Dewan Pers melalui surat yang ditandatangani ketuanya, Ninik Rahayu, meminta PWI untuk mengosongkan kantornya yang masih satu atap di Gedung Dewan Pers per 1 Oktober 2024. Sempat terjadi insiden penggembokan pintu kantor PWI saat Hendry dan beberapa pengurus lain sedang berada di dalam.

Dari konflik yang melanda tiga organisasi besar dengan peran yang strategis bagi bangsa itu, kita bisa menarik sejumlah pelajaran. Pertama, teori resolusi konflik masih relevan untuk menyelesaikan konflik yang melanda masyarakat, khususnya organisasi-organisasi sosial. Secara teoritis, konflik bisa diselesaikan melalui negosiasi, mediasi, atau arbitrasi.

Konflik di Kadin selesai melalui mediasi yang menghasilkan kompromi. Begitu pula konflik antara NU dan PKB (Yahya Staquf versus Muhaimin Iskandar) dan perpecahan di PWI (ketua umum melawan ketua DK) masih mungkin diselesaikan melalui negosiasi atau mediasi.

Konflik di Kadin dan PWI itu sama dalam menyikapinya tapi berbeda penyebabnya. Sama-sama disikapi melalui manuver politik dengan menggelar KLB. Penyebabnya, perbedaan kepentingan politik di Kadin dan persaingan struktural di PWI. Konflik di PWI dilandasi oleh masalah struktur dan kewenangan dalam organisasi di mana ketua umum dan ketua DK sama-sama dipilih dalam kongres.

Dengan acuan itu pula Dewan Pers mengambil keputusan mengakui dualisme kepemimpinan PWI karena Hendry dan Sasongko sama-sama tercantum dalam SK Kemenkumham. Sayang, eksekusi yang dilakukan Dewan Pers justru menegasikan kedua kubu dan melampaui kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan mengusir PWI dari kantornya.

Dewan Pers seharusnya memfasilitasi dan mendamaikan PWI sebagai konstituennya sesuai tugas pokok dan fungsinya. Namun kebijakannya yang koersif dan eksesif telah meningkatkan eskalasi konflik PWI. Selain itu, Dewan Pers tampaknya mengabaikan atau melupakan sejarah pendirian Gedung Dewan Pers yang awalnya diperuntukkan bagi PWI.

Sejatinya, PD/PRT bukan kitab cuci yang sempurna, karena itu setiap organisasi selalu memperbaharuinya di saat kongres atau muktamar. Demikian pula PD/PRT PWI. Pemicu konflik adalah tuduhan bahwa pengurus di bawah Hendry telah melakukan korupsi dana BUMN. Karena korupsi merupakan tindak pidana, seharusnya masalah ini diserahkan ke penegak hukum untuk membuktikan.

Jika ketua umum terbukti korupsi dan sudah divonis bersalah oleh pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrah), maka PWI bisa menggelar KLB untuk memilih ketua umum yang baru. Mengapa harus inkrah? Karena kalau cuma tersangka atau terdakwa masih mungkin divonis bebas. Kalau masih terdakwa, seyogianya ketua umum cukup digantikan sementara oleh penjabat atau pelaksana tugas ketua umum.

Kedua, konflik sebenarnya dibutuhkan dalam setiap organisasi untuk meningkatkan kapasitas organisasi dalam menghadapi perubahan. Konflik adalah sebuah keniscayaan ketika banyak anggota dengan kepentingan dan pendapat yang berbeda bergabung dalam sebuah organisasi.

Konflik yang fungsional akan memajukan organisasi. Namun, konflik yang disfungsional akan merusak organisasi. Konflik disfungsional adalah konflik yang sudah menjurus kepada kebencian, permusuhan, dan kekerasan. Tindakan Dewan Pers yang mengusir PWI dari kantornya yang historis telah meningkatkan konflik PWI dari fungsional menjadi disfungsional yang merusak.

Politik Polarisasi Negara
Ketiga, iklim politik dan kebijakan negara bisa berpengaruh pada budaya politik masyarakat. Ketika budaya paternalistik masih besar pengaruhnya di negeri ini, masyarakat merasa tidak bersalah untuk mencontoh kebijakan atau tindakan negara.

Salah satu strategi politik Jokowi untuk bisa bertahan menjadi presiden selama dua periode adalah dengan memelihara polarisasi masyarakat. Bahkan lebih jauh memecah belah masyarakat secara politik dengan mempertahankan jaringan relawannya. Di era Jokowi, partai politik dengan mudah bisa dikooptasi, dikuasai, dan diganti pengurusnya.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menerima Kaesang Pangarep sebagai ketua umum yang baru, padahal baru dua hari anak bungsu Jokowi itu mendapatkan kartu tanda anggota (KTA) sebelum dinobatkan menjadi ketua umum. Partai sebesar Golkar dengan mudahnya didorong untuk mengadakan munaslub di luar jadwal yang sudah ditetapkan. Sebelumnya, Partai Demokrat nyaris akan dikuasai oleh Istana Kepresidenan.

Politik penguasa negeri yang seperti itu tampaknya memberikan iklim bagi masyarakatnya untuk melakukan hal yang sama: melakukan manuver politik KLB jika tidak puas terhadap kepengurusan yang ada. Mekanisme demokratis lewat kongres atau munas atau muktamar tidak lagi dihargai. Nafsu politik lebih kuat daripada kesabaran untuk mengoreksi dan memperbaiki kelemahan pengurus.

Kecenderungan itu tampak pada banyak organisasi besar. Karena itu, ada baiknya organisasi-organisasi di Indonesia mulai menata kembali struktur dan kultur berorganisasinya agar memiliki daya tahan terhadap intervensi dari luar dan potensi disintegrasi dari dalam.

Penataan struktur terutama dengan memperbaiki AD/ART untuk memperkuat legitimasi dan kewenangan ketua umum terpilih dan membentenginya dari rongrongan kudeta. Seperti halnya dalam kehidupan ketatanegaraan kita di mana sistem presidensialisme diperkuat dengan mempersulit upaya pelengseran presiden. Namun hal ini harus diimbangi dengan kekuatan legislatif. Mungkin sudah saatnya setiap organisasi membentuk organ baru Majelis Perwakilan Anggota (MPA) sebagai legislatifnya.

Demokasi Muhammadiyah

Mencegah intervensi dari luar bisa dilakukan dengan memperbaiki mekanisme pemilihan ketua umum. Demokrasi pemilihan di Muhammadiyah adalah contoh yang baik dan sudah terbukti selama ini Muhammadiyah sulit diintervensi. Muhammadiyah menggunakan sistem Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA).

Dalam sistem pemilihan AHWA, setiap Pengurus Cabang Muhammadiyah (PCM) dan Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) mengajukan sejumlah nama calon ketua umum. Nama-nama ini kemudian disaring menjadi 39 nama oleh Sidang Tanwir yang diadakan sebelum muktamar. Di muktamar, 39 nama itu dipilih oleh muktamirin menjadi 13 nama yang akan menjadi pengurus pusat (PP) Muhammadiyah.

Sebanyak 13 nama yang terpilih menjadi PP itu kemudian bermusyawarah untuk memilih ketua umum. Biasanya nama yang memperoleh suara terbanyak akan dipilih menjadi ketua umum. Namun bisa juga nama lain yang disepakati, seperti dulu terpilihnya Ahmad Syafii Maarif.

Mekanisme ini cukup demokratis karena muktamirin mendapatkan hak suara untuk memilih, namun asas musyawarah mufakat juga digunakan. Pemilihan secara berjenjang dari bawah ini ikut berkontribusi memperkuat integritas dan independensi Muhammadiyah. Sistem AHWA itu sempat akan diterapkan pula oleh NU dalam Muktamar Ke-33 di Jombang tahun 2015. Namun kondisi internal belum siap, sehingga malah membuat Muktamar Ke-33 NU panas mengharu-biru. ***