NasionalPolitik

Khawatir Ada Potensi Tumpang Tindih Kebijakan antara Lembaga Penegak Hukum, Pengamat Hukum Tata Negara Soroti RUU KUHP

89
×

Khawatir Ada Potensi Tumpang Tindih Kebijakan antara Lembaga Penegak Hukum, Pengamat Hukum Tata Negara Soroti RUU KUHP

Sebarkan artikel ini
Pengamat Hukum Tata Negara Abd. R. Rorano S. Abubakar

Jakarta, faktapers.id – Pengamat Hukum Tata Negara Abd. R. Rorano S. Abubakar mengemukakan pandangannya mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Menurut Rorano, RUU ini masih menyimpan potensi tumpang tindih kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang jika tidak diatasi dapat mengganggu efektivitas sistem peradilan pidana di Indonesia.

“Hemat saya, ada beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang belum secara tegas memisahkan kewenangan antara penyidikan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan,” ujar Rorano dalam keterangan resminya, Minggu (20/7/2025).

“Potensi tumpang tindih ini bukan hanya akan menciptakan kebingungan prosedural, tetapi juga bisa menghambat proses hukum secara keseluruhan dan merugikan pencari keadilan.”

Rorano menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan yang ideal, sudah semestinya ada pembagian tugas yang jelas antara penyelidikan dan penyidikan (umumnya di tangan Kepolisian) dengan penuntutan (di tangan Kejaksaan). Namun, beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP, menurutnya, berpotensi mengaburkan batas ini.

Adapun beberapa poin krusial yang disoroti oleh Rorano terkait potensi tumpang tindih ini, Pertama, Penyidikan Bersama atau Koordinasi yang Belum diatur secara Jelas dalam RUU KUHAP sebab, mekanisme pelaksanaannya bisa jadi belum cukup rinci atau malah membuka celah interpretasi yang berbeda antara kedua institusi. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan kewenangan di lapangan.

Kedua, Berkaitan dengan kewenangan Jaksa dalam Tahap Penyidikan. Meskipun Kejaksaan memiliki fungsi pengawasan pra-penuntutan, pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada jaksa dalam tahap penyidikan tanpa batasan yang jelas dapat mengganggu independensi penyidik Kepolisian.

Ketiga, Penyelesaian Perkara yang potensial tidak Efisien. Ketidakjelasan batas kewenangan bisa menyebabkan bolak-balik berkas perkara (P19) antara penyidik dan penuntut, yang pada akhirnya memperlambat penyelesaian kasus dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka dan korban.

Keempat, Akuntabilitas yang Kabur: Jika terjadi tumpang tindih, akuntabilitas atas suatu kesalahan prosedur atau keterlambatan proses bisa menjadi tidak jelas, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab.

“Penting sekali untuk memastikan bahwa setiap institusi memiliki mandat yang jelas dan tidak saling intervensi dalam lingkup tugas masing-masing, kecuali dalam kerangka koordinasi yang sudah diatur secara rigid dan transparan,” tegas Rorano

Kata Rorano, “RUU KUHAP harus mampu menciptakan harmonisasi, bukan malah disharmoni, dalam penegakan hukum.”

Rorano menyarankan agar pembahasan RUU KUHAP ini memberikan perhatian lebih pada perumusan pasal-pasal yang mengatur hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan.

“Perlu ada penegasan kembali mengenai domain masing-masing lembaga agar tidak ada celah untuk saling mengklaim atau bahkan saling melempar tanggung jawab. Prinsip *’check and balance’* harus tetap terjaga dengan pembagian tugas yang proporsional,” pungkasnya.

(Her)