Hukum & KriminalInfo Polisi

Oknum Polisi Diduga Salah Gunakan Wewenang, Tim GERAK Desak MK Batalkan Pasal UU Polri yang Dinilai Multitafsir

35
×

Oknum Polisi Diduga Salah Gunakan Wewenang, Tim GERAK Desak MK Batalkan Pasal UU Polri yang Dinilai Multitafsir

Sebarkan artikel ini

Jakarta, faktapers.id  – Upaya reformasi internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mendapat ujian berat setelah seorang advokat, Leon Maulana Mirza Pasha, mengaku mengalami intimidasi dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum anggota Polda Metro Jaya berinisial M.R.W.P (dalam laporan lain disebut Rifky Widyanto). Insiden ini mendorong Leon Maulana, bersama tim GERAK (Gerakan Reformasi Polri oleh Rakyat), untuk mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

​Pada hari Rabu, 15 Oktober 2025, Tim GERAK menggelar konferensi pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, bertepatan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan perkara uji materiil yang mereka daftarkan.

​Intimidasi Berujung Gugatan Konstitusi

​Leon Maulana Mirza Pasha, yang bertindak sebagai Pemohon I, mengungkapkan bahwa ia menjadi korban intimidasi dan ancaman sewenang-wenang dari oknum polisi tersebut pasca dirinya menjalankan profesi sebagai advokat. Berdasarkan risalah sidang MK, ancaman yang diterima oleh Leon mencakup pernyataan akan memerintahkan pihak berwajib untuk mengambil dan memeriksa legalitas perusahaan yang ia wakili, suatu tindakan yang dinilai dilakukan tanpa dasar hukum, surat perintah resmi, atau kewenangan penyidikan yang sah.

​”Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa aparat kepolisian dapat dengan mudah menggunakan kedudukannya untuk kepentingan pribadi, memanfaatkan atribut jabatannya untuk menekan pihak lain,” ujar Leon Maulana dalam konferensi pers.

​Intimidasi yang berulang ini menjadi dasar kuat bagi Tim GERAK untuk menyimpulkan bahwa ada masalah struktural dalam UU Polri yang memberi ruang bagi penyalahgunaan wewenang.

​Fokus Uji Materiil: Pasal 25 Ayat 1 UU Polri

​Permohonan uji materiil yang terdaftar dengan Nomor Perkara 183/PUU-XXIII/2025 ini secara khusus menyoroti dan menguji keabsahan frasa dalam Pasal 25 Ayat 1 UU Polri. Tim GERAK menilai frasa tersebut terlalu longgar dan multitafsir, sehingga rentan digunakan sebagai alat pembenar bagi tindakan sewenang-wenang yang tidak proporsional oleh aparat kepolisian.

​Advokat Leon Maulana dan Pemohon II, Panji (seorang pegawai swasta), berargumen bahwa norma yang kabur tersebut telah secara nyata merugikan hak konstitusional mereka. Mereka meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut, atau bahkan membatalkannya, demi menciptakan batasan hukum yang jelas dan mencegah oknum polisi bertindak di luar koridor hukum.

​Laporan Tegas ke Propam dan Komnas HAM

​Ketua Tim GERAK menyatakan bahwa langkah konstitusional di MK bukan satu-satunya jalan yang ditempuh. Ia juga telah melaporkan tindakan oknum polisi, yang diidentifikasi sebagai Rifky Widyanto, ke Propam Polri dan Komnas HAM.

​”Inilah alasan kami bersuara, bukan untuk melawan Polri, tapi untuk menyelamatkan kepercayaannya. Kami berharap Propam Polri dan Komnas HAM dapat menindaklanjuti secara serius tindakan oknum tersebut,” tegas Leon.

​Hingga sidang pemeriksaan pendahuluan, Leon mengaku belum ada tindak lanjut resmi dari pihak terkait yang menghubunginya, menggarisbawahi tantangan dalam mendapatkan keadilan dan mendorong akuntabilitas aparat.

​Mendukung Reformasi Polri yang Berkeadilan

​Aksi ini merupakan bentuk dorongan dari masyarakat sipil terhadap agenda reformasi Polri. Tim GERAK menekankan bahwa perilaku oknum yang memanfaatkan jabatannya untuk mengintimidasi, apalagi terhadap penegak hukum seperti advokat, adalah preseden buruk yang sangat menciderai semangat penegakan hukum yang berkeadilan dan integritas institusi Bhayangkara.

​Gugatan ini diharapkan dapat menjadi momentum kritis bagi pimpinan Polri untuk mempercepat dan memperkuat reformasi internal, memastikan setiap anggota kepolisian menjunjung tinggi profesionalisme, dan mengedepankan hak asasi manusia dalam setiap pelaksanaan tugas. Publik dan media diajak untuk terus mengawal jalannya perkara di MK serta tindak lanjut di Propam dan Komnas HAM. (Ig)