Luwu Utara, faktapers.id– Kasus pelaporan dua guru SMAN 1 Luwu Utara (Lutra), Rasnal dan Abdul Muis, ke aparat penegak hukum oleh aktivis Lembaga Advokasi Investigasi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (BAIN HAM RI), Faisal Tanjung, terus bergulir dan menyita perhatian publik. Konflik ini semakin kompleks setelah terungkap bahwa Faisal Tanjung adalah mantan murid dari guru yang ia laporkan.
Pelaporan yang dilakukan pada Jumat (14/11/2025) ini bermula dari dugaan adanya pungutan dana komite sebesar Rp 20.000 per orang tua siswa yang dinilai tidak transparan dan berpotensi melanggar aturan.
Reaksi Sekolah dan Klarifikasi Dana Komite
Pihak SMAN 1 Luwu Utara, melalui Kepala Sekolah, menyatakan terkejut dan menyayangkan langkah hukum yang diambil oleh alumni mereka. Sekolah segera memberikan klarifikasi mengenai dana komite yang menjadi pokok permasalahan.
Menurut keterangan sekolah, pungutan Rp 20.000 tersebut adalah iuran rutin yang telah disepakati bersama dalam Rapat Komite Sekolah pada awal tahun ajaran 2025/2026. Dana ini dialokasikan untuk kegiatan non-operasional sekolah yang tidak dicakup oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), seperti:
- Kegiatan Ekstrakurikuler dan Pengembangan Bakat Siswa.
- Perawatan dan Pengadaan Sarana Prasarana Penunjang (misalnya perbaikan AC atau proyektor di kelas).
- Insentif tenaga pendidik honorer.
”Iuran ini bersifat sukarela dan hasil kesepakatan Komite. Kami memiliki bukti berita acara dan daftar hadir rapat. Seharusnya, jika ada keberatan, masalah ini bisa diselesaikan melalui jalur internal Komite Sekolah atau Musyawarah Keluarga. Kami siap transparan,” ujar juru bicara sekolah, yang menolak berkomentar lebih jauh mengenai detail pesan yang dilaporkan Faisal.
Hubungan Masa Lalu Menambah Dimensi Kasus
Fakta bahwa Faisal Tanjung merupakan Alumni SMAN 1 Lutra tahun 2012 dan pernah diajar oleh Rasnal menambah dimensi etika dalam kasus ini. Hal ini dibeberkan oleh putra Rasnal, Muhammad Alfaraby Rasnal.
Pengungkapan hubungan guru-murid ini memicu perdebatan di masyarakat: Apakah loyalitas kepada almamater dan etika pelaporan harus mengalahkan tugas aktivis dalam menegakkan transparansi?
”Bagi Faisal Tanjung, tugas aktivisnya adalah memastikan dana publik, sekecil apa pun itu, dikelola secara akuntabel, terlepas dari siapa pun yang terlibat. Namun, bagi masyarakat dan sesama alumni, tindakan ini dilihat sebagai ‘duri dalam daging’ yang seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan,” ujar seorang pengamat pendidikan lokal, Dr. Yusuf Mappalilu.
Perspektif Hukum: Batasan Pungutan Sekolah
Secara hukum, kasus ini akan bergantung pada interpretasi dan bukti apakah iuran komite tersebut dapat dikategorikan sebagai “pungutan liar (pungli)” atau “sumbangan sukarela yang disepakati”.
- Sesuai Permendikbud No. 44 Tahun 2012, sekolah dilarang memungut biaya yang terkait pelaksanaan syarat penerimaan peserta didik baru, serta dilarang melakukan pungutan di sekolah negeri. Namun, Komite Sekolah diizinkan melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan, bukan iuran yang bersifat wajib atau mengikat.
- Pesan yang diterima Faisal Tanjung yang menyebutkan “pembagian honor tidak berjalan” dalam chat salah satu guru akan menjadi kunci untuk mengetahui apakah dana komite digunakan untuk kepentingan operasional gaji yang seharusnya ditanggung negara (BOS atau APBD), yang melanggar ketentuan.
Saat ini, kasus tersebut tengah ditangani oleh pihak berwenang. Publik menantikan apakah investigasi akan berfokus pada pelanggaran hukum oleh guru, atau justru pada prosedur dan transparansi pengelolaan dana oleh Komite Sekolah secara keseluruhan.













