Jakarta, faktapers.id – Nama seorang ulama besar dari Banten bernama, Pangeran Wijayakusuma memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Jakarta. Tak heran, makamnya pun yang berlokasi di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Kampung Gusti, Kelurahan Wijayakusuma, Kecamatan Grogol-Petamburan, tetap terjaga dan dijadikan benda cagar budaya oleh Pemprov DKI.
Meskipun tidak sebesar dan setenar makam para raja besar lainnya, namun makam ini mempunyai nilai historis sejarah yang penting untuk ditanamkan pada generasi muda.
Konon, sosok Pangeran Wijayakusuma merupakan seorang penasehat dan panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta. Seorang Pangeran yang berjuang dan berperang melawan Belanda di Batavia sekitar abad ke-17.
Nama Wijayakusuma diambil dari bahasa Jawa. Wijaya berarti kemenangan. Dan Kusuma artinya kembang. Sehingga jika diartikan Wijayakusuma yaitu sebagai, Kembang Kemenangan. Riwayat Pangeran Wijayakusuma sampai saat ini masih samar karena belum ada keterangan yang pasti.
Pangeran Wijayakusuma adalah pangeran dari Banten yang datang pada saat Jayakarta di bawah kekuasaan, Wijayakrama, atas perintah Sultan Banten, Maulana Yusuf.
Penugasan ini terkait isu Pangeran Jayakarta, bahwa Wijayakrama telah bekerja sama dengan Belanda dalam pengelolaan tanah. Kemudian atas perintah Sultan Banten, Maulana Yusuf, Wijayakrama ditarik kembali ke Banten.
Mengingat usia Pangeran Wijayakusuma sudah semakin lanjut, ia tidak dapat lagi mendampingi Pangeran Ahmad Jakerta secara langsung, hingga akhirnya Pangeran Wijayakusuma memisahkan diri dan mundur ke arah barat ke daerah Jelambar hingga wafat dan dimakamkan di daerah yang sekarang dikenal sebagai makam Pangeran Wijayakusuma yang berada di Kampung Gusti, Jelambar, Jakarta Barat.
Selanjutnya, posisi Pangeran Jayakarta, Wijayakrama, digantikan oleh putranya, Pangeran Ahmad Jakerta. Namun karena usianya masih dianggap terlalu muda untuk mengatur roda pemerintahan, ia selalu didampingi Pangeran Wijayakusuma meski saat itu perselisihan antara Belanda dengan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Ahmad Jakerta terus berlangsung.
Pangeran Wijayakusuma pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta, berjuang dan berperang melawan Belanda (VOC) di Batavia sekitar abad ke 17. Pada masanya, ia dikenal sebagai seorang ulama yang disegani.
Riwayat Pangeran Wijaya Kusuma, diakui masih samar. Konon, Pangeran Wijaya hijrah ke Jayakarta setelah Kadilangu yang ketika itu di bawah Kerajaan Demak, diserang Senopati (Kakek Sultan Agung Hanyokrokusumo), pemimpin cikal bakal Kerajaan Mataram.
Ditambahkannya lagi, Pangeran Wijaya di hormati karena pandai dan bijak memompa semangat warga melawan kolonialisme VOC. Nasihat-nasihatnya yang berlandaskan nilai agama, dianggap selalu bernas menyalakan kembali semangat warga yang putus asa karena terus ditindas.
”Kepada warga dan Pangeran Jayakarta, beliau selalu mengingatkan agar teguh berprinsip, ’VOC hanya boleh hidup di dalam benteng, bukan di luar benteng,” ujar Syafei.
Tetapi setelah VOC merambah pedalaman Angke dan menyisir kantong-kantong gerilyawan pada tahun 1684, nasihat Pangeran Wijayakusuma seperti hilang, menguap. Lebih-lebih setelah Jayakarta Wijayakarma dipanggil kembali ke Kerajaan Banten.
Makam Pangeran Wijaya didirikan pada abad ke 17. Menurut keterangan, makam ini dahulu terletak diantara kolam-kolam dengan nisan berupa batu. Komplek makam ini sekarang terawat rapi, dan dikelilingi pagar dan pohon peneduh. Arsitektur makamnya bergaya melayu Islam. Pertama kali dipugar oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tanggal 22 Juni 1968, terakhir dipugar kembali oleh Walikotamadya Jakarta Barat pada tanggal 28 Juli 1989.
Dan pada tahun 2003, makam Pangeran Wijayakusuma ini diperbaiki. Namun, setelah itu Pemprov DKI Jakarta kurang memperhatikan kondisi area makam ini.
Mengingat nilai historisnya, makam ini telah mengalami pemugaran sebanyak 3 kali. Pemugaran pertama kali dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta pada 22 Juni 1968. Berlanjut pemugaran kedua dan ketiga oleh Walikota Jakarta Barat pada 28 Juli 1989 dan Juni 2004.***