Jakarta, faktapers.id – Selain berpotensi menabrak banyak aturan, rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang maskapai asing untuk melayani rute domestik juga bertentangan dengan semangat menegakkan kedaulatan udara.
Demikian tegas Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon. “Di samping itu, saya mencermati pernyataan presiden terkait industri penerbangan sejak akhir tahun lalu, mulai dari isu harga avtur, tiket mahal, hingga ke rencana mengundang maskapai asing, sama sekali tak mencerminkan road map penyelesaian masalah,” ujar Fadli di Jakarta, Senin (17/6/19).
Ia pun menilai, presiden telah gagal paham atau mendapatkan informasi keliru dari para pembantunya. Pemahaman yang keliru mengenai industri penerbangan ini berbahaya, karena bisa mengancam kedaulatan udara kita.
“Mengundang maskapai asing ke Indonesia akan bertabrakan dengan regulasi internasional yang disebut Cabotage Article 7 dalam Chicago Convention. Cabotage adalah hak suatu negara untuk mengelola transportasi laut, udara, serta moda transportasi lainnya untuk melindungi kedaulatan teritorialnya,” ungkap Fadli.
Legislator dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini memaparkan, hak menolak termisi atau right to refuse ini berawal dari Paris Convention 1919 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara di ranah udara bersifat konkret dan ekslusif.
“Artikel tadi tak melarang maskapai asing melayani rute internasional, hanya melindungi rute domestik saja, untuk menjaga kedaulatan udara tiap-tiap negara. Jadi, itu latar belakang adanya Article 7,” urai Fadli.
Terangnya lagi, itu pula sebabnya tak ada negara manapun di dunia yang memperbolehkan maskapai asing melayani rute domestik di negaranya.
“Rute penerbangan domestik pastilah diproteksi sedemikian rupa, bahkan di negara paling liberal sekalipun. Makanya saya bertanya-tanya, bagaimana bisa Presiden tiba-tiba melontarkan pernyataan akan membuka rute domestik bagi maskapai asing? Usulan dari mana itu?,” sambung Fadli.
Selain menabrak konvensi internasional, sambung dia, usulan membuka rute domestik bagi maskapai asing juga bertabrakan dengan dua regulasi di Indonesia.
“Pertama, usulan tersebut bertentangan dengan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, terutama Pasal 108, yang menyebutkan bahwa badan usaha angkutan udara niaga nasional seluruh atau sebagian besar modalnya haruslah dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia,” cetus Fadli.
“Jadi, dari mana ceritanya maskapai asing mau diundang masuk untuk melayani rute domestik? Kedua, usul Presiden tersebut melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No. 44/2016 mengenai bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal,” sebut dia pula.
Sebagai catatan, lanjut Fadli, maskapai asing memang bisa saja beroperasi di Indonesia, namun mereka harus mengubah badan hukumnya jadi berbadan hukum Indonesia, seperti yang dilakukan Air Asia Indonesia. Hal yang sama juga berlaku di negara lain.
“Thai Lion, misalnya, meskipun namanya Lion, tapi pemegang saham mayoritasnya adalah Thailand, bukan Lion Indonesia. Begitu juga dengan Batik Malaysia, pemilik mayoritasnya adalah Malaysia, bukan Batik Air Indonesia,” lanjutnya.
Tak hanya itu, dia juga berharap presiden berhati-hati sebelum melontarkan pernyataan. Jangan sampai kita jadi bahan tertawaan dunia karena asal ngomong tanpa memperhatikan konvensi hukum dengan berbagai konsekuensinya.
“Lagi pula, Pemerintah mestinya mengkaji terlebih dahulu sebab kenapa harga tiket pesawat mahal atau kenapa jumlah penumpang di bandara antara Januari hingga April 2019 kemarin bisa anjlok hingga 20 persen,” serunya.
“Benarkah anjloknya jumlah penumpang karena harga tiket mahal, atau karena ada faktor lain, seperti anjloknya daya beli, misalnya? Ini perlu ditelaah lebih dahulu, tak bisa disimpulkan sepihak begitu saja,” tandas Fadli menambahkan. oss