Jakarta, faktapers.id – Banyak kalangan menilai penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, yang rencananya bakal digelar mulai pertengahan Juni 2020 beresiko menjadi sumber penyebaran virus Corona (Covid-19).
Selain berdasarkan data sejumlah daerah yang akan menggelar Pilkada tengah berjuang mengatassi penyebaran Covid-19, bila Pilkada tetap diselenggarakan bulan Juni, berkonsekuensi membengkaknya anggaran tidak dapat dihindari.
“KPU mengajukan tambahan anggaran sampai 5 trilyun untuk penyediaan APD dan menambah jumlah TPS. pembengkakan anggaran dapat dihindari apabila penyelenggaraan Pilkada tidak dipaksakan di era pandemi,” ungkap Wakil Ketua Komite I DPD RI, Abdul Kholik di Jakarta, Selasa (9/6).
Menurutnya, dalam skema Pilkada yang dilbahas di DPD, pilihan waktunya lebih tepat di tahun 2021.Tahapan dimulai pada bulan Oktober 2020, dan pencoblosan pada Maret 2021. Atau Pilkada diselenggarakan pada bulan September 2021 dengan awal tahapan pada Maret 2021.
“Diperkirakan suasana pandemi lebih terkendali, dan kemungkinan vaksin sudah mulai dapat tersedia pada tahun depan,” ujar Kholik. Urainya, penyelenggaraan Pilkada tahun 2021 akan memberikan waktu yang cukup untuk persiapan termasuk dengan menggunakan skema pandemi.
“Jangka waktu persiapan yang cukup memungkinkan untuk dilakukan berbagai perbaikan tahapan Pilkada, terutama yang beresiko tinggi karena mengharuskan pertemuan langsung,” jelas Kholik.
Paparnya, terbuka peluang untuk menyederhanakan tahapan demi keamanan dan peningkatan kualitas Pilkada, serta penghematan biaya.
“Salah satu tahapan yang dapat disederhanakan adalah penetapan daftar pemilih yang semula lima tahap
cukup dua tahap, yaitu dari DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) cukup dilakukan analisis/perbaikan oleh KPU/Bawaslu sesuai tingkatan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai DPT,” kata Senator asal Jawa Tengah itu.
Sambung Kholik, untuk mengantisipasi ada yang masih tertinggal dibuka ruang DPT perbaikan sampai H-7. Terakhir, pemilih dapat menggunakan e-ktp apabila tidak masuk dalam DPT. Pola ini sudah sangat cukup melindungi hak pemilih dan jumlah DPT sudah dapat dijadikan acuan penetapan kebutuhan logistik Pilkada.
“Penyederhanaan penyusunan DPT berpotensi menghemat anggaran sampai 2 triliun dengan asumsi 270 daerah yang melakukan Pilkada dapat menghemat biaya antara 3 sampai 7 Milyar. Model ini akan menghilangkan coklit yang sejatinya tidak terlalu diperlukan lagi dengan asumsi data kependudukan sudah semakin baik,” terangnya.
Apalagi di era pandemi, lanjut Kholik, pelaksanaan Coklit sangat beresiko menjadi sarana penularan
wabah. “Padahal KPU maupun Bawaslu di daerah memiliki data base pemilih secara berkesinambungan
sebagai bahan analisis dan penyempurnaan DP4 dari Dinas Kependudukan,” sebutnya.
Seru Kholik, berdasarkan pertimbangan tersebut DPD terus menghimbau berbagai pihak untuk meninjau kembali Pilkada tahun 2020, yang justru menimbulkan pembengkakan anggaran yang menyulitkan daerah. Aspek kesehattan dan keselamatan warga harus menjadi prioritas.
“Terlebih ada ruang untuk melakukan
penghematan biaya yang signifikan dan sekaligus memperbaiki tahapan demi meningkatkan kualitas
penyelenggaraan Pilkada,” pungkas dia. (OSS)