Melawi, faktapers.id – Saat ini, seluruh dunia sedang menghadapi ancaman serius pandemi Covid – 19. Seluruh sektor terkena imbas dari pandemi ini, tak terkecuali sektor pelayanan publik. Sektor yang menjadi tumpuan warga negara dalam mendapatkan haknya wajib beradaptasi apabila tidak ingin diklaim sebagai klaster baru penularan Covid – 19.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mengambil sikap dalam masa pandemi ini. Menkumham Yasonna H Laoly mengambil kebijakan memberikan program asimilasi di rumah bagi narapidana dengan persyaratan tertentu.
Melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 10 tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid – 19.
Yasonna memberikan penjelasan bahwa negara – negara lain menerapkan kebijakan yang sama dalam masa pandemi ini. Terlepas dari persepsi publik mengenai program itu, perlu kita garis bawahi bahwa berdasarkan peraturan tersebut warga binaan pemasyarakatan mendapatkan program asimilasi di rumah dan program reintegrasi di rumah bukan dibebaskan secara murni.
Proses pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan pada hakikatnya bertujuan agar tujuan dari sistem pemasyarakatan dapat terwujud. Para offender dapat menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Cita – cita tersebut dapat terwujud apabila proses pemasyarakatan dapat berjalan dengan normal.
Sebelum pandemi Covid – 19 muncul, pelbagai permasalahan dalam lembaga pemasyarakatan telah muncul layaknya benang kusut yang sulit sekali untuk diurai secara detail. Permasalahan klasik seperti terjadinya kapasitas berlebih (over-capacity) di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara, belum sempurnanya pemberian pelayanan bagi warga binaan pemasyarakatan hingga masalah SDM Aparatur yang belum sesuai kompetensi.
Kini, dengan adanya pandemi Covid – 19, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mencoba mengurai masalah – masalah tersebut berdasarkan momentum yang ada. Pengujian pelaksanaan pembinaan narapidana sebenarnya dipertaruhkan dalam kebijakan ini, yaitu ketika narapidana yang sebelumnya mendapatkan pengawasan penuh di dalam lembaga, mendapatkan hak asimilasi di rumah yang notabene adalah program yang minim pengawasan melekat.
Panopticon pada mulanya adalah konsep bangunan penjara yang dibuat oleh sorang filsuf dari Inggris bernama Jeremy Bentham pada tahun 1975. Konsep desain penjara yang dibuatnya memungkinkan seorang penjaga atau pengawas untuk mengawasi narapidana tanpa narapidana tersebut dapat mengetahui bahwa dirinya sedang diawasi atau tidak.
Sedangkan Michel Foucault memberikan penjelasan mengenai panopticon dalam bukunya yang berjudul Surveiller et Punir: Naissance de la Prison bahwa desain panopticon menjadi metafora bagi masyarakat disiplin modern. Penjara dalam hal ini lembaga pemasyarakatan telah menerapkan konsep panopticon meskipun secara tidak langsung menyebutkannya demi mendisiplinkan warga binaan pemasyarakatan agar cita – cita pemasyarakatan dapat terwujud.
Kini, dalam kurun waktu empat bulan terakhir, sekitar 40 ribu narapidana mendapatkan program asimilasi di rumah. Mereka yang semula mendapatkan program pembinaan di dalam lembaga, kemudian menjalani program dengan dibimbing dan diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Proses panopticon yang dijalani narapidana (yang disebut klien setelah menjalani program asimilasi di rumah) menjadi lebih kompleks. Di dalam lembaga mereka diawasi hanya dari petugas penjagaan yang rutin menjaga dan memeriksa mereka. Setelah kembali ke masyarakat meskipun belum seutuhnya, mereka mendapati dua hal: Pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dan masyarakat terkait program pembinaan yang diberikan di rumah, dan pengawasan terkait tingkah laku yang berisiko terpajan Covid – 19.
Proses panopticon yang dijalani oleh klien pemasyarakatan tersebut dapat menjadi peluang besar bagi pemerintah agar permasalahan di dalam lembaga pemasyarakatan “sedikit” dapat terurai meskipun belum pada taraf substantif karena hal tersebut memerlukan revitalisasi sistem peradilan pidana, atau malah menjadi ancaman bagi masyarakat seperti yang selama ini dikhawatirkan.
Peran dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dalam meyakinkan bahwa klien sedang diawasi secara total wajib dilakukan, agar tercipta kepatuhan yang berujung pada kesadaran bahwa apa yang mereka perbuat dulu merupakan kesalahan sehingga dapat hidup secara normal di masyarakat.
Sedangkan peran pengawasan pihak keluarga, masyarakat, pemerintah setempat dan aparat penegak hukum di sekitar tempat tinggal klien yang menjalani program asimilasi mutlak dilakukan, agar klien menyadari betul bahwa dirinya memang sedang diawasi meskipun sebenarnya tidak diawasi secara terus – menerus. Dengan hal tersebut, diharapkan kenyamanan masyarakat juga dapat tercapai dalam masa pandemi Covid – 19. (Abd/Skn)