Jakarta, faktapers.id – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim mengagas Kampus Merdeka. Menyoal hal ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul FIkri Faqih ingatkan, penyalahartian oleh kampus Unversitas Indoneia (UI) terhadap mahasiswa barunya.
“Pakta Integritas bagi mahasiswa baru di kampus UI sebaiknya tidak bertentangan dengan tujuan Kampus Merdeka yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Secara diksi Kampus Merdeka memberi kemerdekaan bagi intelektual kampus,” ujar dia dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (11/9).
Menurut Fikri, kemerdekan yang dimaksud untuk menentukan pola pembelajaran yang sesuai, termasuk kemerdekaan untuk berpendapat dan berserikat. Ia pun menegaskan, pernyataannya ini sekaligus menjadi kritik bagi kebijakan Kampus Merdeka.
“Kebijakan Kampus Merdeka secara esensi tidak hanya mengatur bagaimana kampus merdeka dalam menaikkan level akreditasinya, tapi juga memberi keleluasaan bagi civitas academisi dalam mengembangkan potensi dan kualitas sumber daya manusianya,” paparnya.
Lebih lanjut Fikri mengingatkan soal program Kampus Merdeka yang bisa disalahartikan oleh kampus, seperti yang dilakukan UI terhadap mahasiswa barunya.
“Pakta Integritas yang harus diteken maba UI itu malah berpotensi mendistorsi kreatifitas dalam berpendapat dan mengembangkan potensi skill di luar akademisnya,” cetus legislator Senayan dari Fraksi PKS itu.
Fikri mengungkapkan, merujuk pada poin 10 dan 11 dalam pakta integritas tersebut, yang berbunyi (10) ‘Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik.
“Dan bernegara, dan (11) ‘Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari pimpinan fakultas dan/atau pimpinan universitas Indonesia,” urainya.
Fikri mempertanyakan poin 10 tersebut, yang secara tidak langsung menyebut politik sebagai bukan kegiatan ilmiah dan bukan aktifitas bernegara. “Memisahkan politik dari akademis dan kehdupan bernegara bukanlah tujuan Kampus Merdeka, malah sebuah ironi,” tandasnya.
Fikri menegaska, justru politik harus dibangun dengan pendekatan ilmiah agar demokrasi mampu berdiri secara kokoh dan rasional.
“Ketika bangsa ini sudah rasional, maka akan mudah melahirkan sosok pemimpin-pemimpin yang kuat, yang mampu membawa negara ini untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya, bukan dengan politik uang, politik dinasti, dan bentuk penyimpangan lain yang kita lihat sekarang ini,” cetusnya.
Fikri menilai, rezim Perencanaan Pembangunan Nasional di Indonesia masih menganut lima pendekatan, yakni politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up).
“Tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kalaupun ada pandangan apolitis atau memisahkan politik dari sistem ini, sebaiknya belajar lagi,” serunya.
Fikri mengugkapkan, secara ide dirinya sepakat dengan diksi Kampus Merdeka, dimana tujuannya adalah mempercepat inovasi di Pendidikan tinggi.
“Tetapi jangan lupa, inovasi itu akan muncul dalam kondisi alam pikiran yang merdeka, bukan dalam pengekangan intelektual, seperti yang sedang dipraktekan dalam pakta integritas tersebut,” bebernya.
Lanjut Fikri, karenanya poin keempat dalam kebijakan Kampus Merdeka ala Nadiem Makariem, yakni memberi kebebasan bagi mahasiswa belajar lintas prodi dan di luar kampus perlu dijabarkan lagi secara teknis.
“Agar kampus-kampus mampu menerjemahkannya dalam bentuk peraturan kampus yang tidak mengekang kebebasan mahasiswa untuk berpendapat,” demikin Fikri. OSS