Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi
Bapak Presiden Jokowi Yang Terhormat,
Sesungguhnya masih banyak lagi “Tool” demokrasi yang dibentuk pada era reformasi berupa lembaga negara yang embanannya baru sebatas gagasan yang validitas keilmuannya belum teruji baik secara teori maupun praktek. Dan belum lagi sejumlah lembaga negara peninggalan masa lalu yang juga menjadi “krisis faedah” dan bahkan “IDLE” akibat embanannya tidak lagi sesuai dengan kebutuhan jaman kekinian. Namun demikian, ijinkan saya membatasi penjelasan masalah kendala realitas yang bersumber dari model tata kelola kekuasaan negara dengan focus dibidang keamanan, hukum dan ekonomi.
Konsep Keamanan Tanpa Jaminan HAM.
Berangkat dari konsep pengelolaan “National Security” ala Orde Baru yang dikenal dengan istilah “Pertahanan dan Keamanan” (HANKAM), oleh Pelaku 4 kali Amandemen UUD kemudian begitu saja dibagi menjadi dua yaitu fungsi PERTAHANAN dan fungsi KEAMANAN secara terpisah satu dengan lainnya.
TNI menangani bidang PERTAHANAN untuk menghadapi ancaman angkatan bersenjata negara, sementara itu Polri bertugas dibidang KEAMANAN termasuk tugas-tugas untuk menghadapi “insurjensi” dalam bentuk kelompok rakyat bersenjata sekalipun. Artinya Polri diberi embanan untuk membunuh musuh yang secara universal menjadi wilayah tugas tentara. Berangkat dari embanan tersebut, maka Polri kemudian dilengkapi dengan senjata tempur standar militer yaitu senjata yang digunakan untuk membunuh musuh, bukan senjata untuk melumpuhan penjahat sebagaimana standar Polisi secara universal.
Akhirnya muncul konsep operasi pengerahan alat kekerasan negara dengan “mesin perang” yang lucu-lucuan, dimana TNI diperbantukan kepada Polri dalam mengatasi kelompok rakyat bersenjata. Dan dari sana pula, maka pada dasa warsa yang lalu rakyat disuguhi tayangan TV dimana Polri dalam mengatasi teroris dalam bentuk kelompok kecil, dilakukan dengan serbuan ratusan atau bahkan ribuan peluru tajam layaknya perang konvensional.
Penyusun Amandemen UUD seolah tidak tahu bahwa yang dimaksud keamanan yang menjadi tugas Polri sewaktu Orde Baru adalah KAMTIBMAS (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), sama sekali bukan keamanan dalam arti luas yaitu Keamanan Nasional yang secara universal adalah tugas negara.
Konsep tersebut jelas mengandung resiko pelanggaran HAM dan juga potensi jatuhnya korban akibat sebuah OPERASI MILITER dilakukan oleh Polisi, bukan oleh pihak yang mempunyai mempunyai kompetensi dalam hal ini TNI. Lantas rumus darimana Polri bisa menjunjung tinggi keberadaban (Supremasi Sipil) kalau secara Yuridis Formal dengan SAH berada diwilayah supremasi militer, dimana Perintah adalah hukum tertinggi.
Dan sesungguhnya konsep pengelolaan keamanan termasuk kedudukan Polri yang kini tergelar adalah penyimpangan serius dari konsep REFORMASI INTERNAL ABRI 1998 yang digagas oleh Pangab yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto, dimana keamanan adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab lembaga TNI dan apalagi Polri semata. Untuk itu keamanan diposisikan sebagai output dari sistem sipil, dan karenanya kalau timbul masalah keamanan terlebih dahulu harus ditangani dengan cara-cara sipil (Beradab) dan oleh apartur sipil salah satunya adalah Polri.
Namun ketika cara-cara sipil dan oleh apartur sipil telah gagal atau dipastikan akan gagal dan atau secara terukur bakal jatuh korban biar 1 orang sekalipun, maka saat itu pula berubah menjadi tugas TNI dan ditangani dengan cara-cara militer (Supremasi Militer). Sementara itu Polri dirancang sebagai bagian dari “LAW AND JUSTICE SYSTEM” dengan kedudukan untuk masa transisi dibawah Departemen Pertahanan dan pada saatnya pindah dibawah Depdagri atau langsung dibawah Depkumham (Sekarang Kemenkum & HAM).
Akumulasi Embanan Polri Sebagai Sumber Kerusakan Hukum.
Sesugguhnya awal kerusakan kehidupan hukum di negeri kita berawal sejak Orde Baru menggabung Polri dengan TNI dalam wadah ABRI. Dalam kedudukannya sebagai PENYIDIK, Polri sebagai bagian dari ABRI yang BERDWIFUGSI otomatis juga mengemban tugas dibidang politik.
Dengan sedikit modifikasi, kini kedudukan Polri langsung dibawah Presiden selaku Kepala Pemerintahan, artinya Polri juga mengemban tugas dibidang politik dan juga SAH sebagai alat kekuasaan, disamping tugasnya juga sebagai “Angkatan Bersenjata”. Dan apalagi kini Anggota Polri khususnya elitnya juga bisa menduduki jabatan diluar struktur Polri, tanpa harus keluar dari dinas aktif terlebih dahulu sebagaimana yang diberlakukan kepada Anggota TNI.
Dengan akumulasi tugas, kewenangan dan “previladge” yang ada ditangan Polri, maka mustahil Jaksa sebagai Pengawas Penyidikan tidak dibawah bayang-bayang Polri. Tegasnya bagaimana mungkin Kajaksaan dalam proses penyidikan bisa mengintervensi Penyidik Polri tak terkecuali bila dalam proses penyidikan terjadi pelanggaran HAM sekalipun. Artinya mustahil pengawasan penyidikan oleh Jaksa terhadap Penyidik Polri bakal bisa efektif. Bukankah terjadi dilapangan, justru Jaksa lah yang “didikte” oleh Penyidik Polri.
Disanalah maka praktek Mafia Hukum di era reformasi menjadi subur, dan belakangan ini malah menjadi-jadi, karena sistem hukum yang kita gelar tidak dilandasi oleh Etika (Moral) dimana Pasal-Pasal yang disangkakan lepas dari kaitan mengapa Tersangka / Terdakwa melakukan perbuatan tersebut.
Memang betul, dimana negara manapun profesi Hakim pada hakikatnya mewakili Tuhan Yang Maha Esa untuk menegakan keadilan. Mereka secara bebas dan mandiri untuk memutuskan perkara yang diadilinya. Disanalah maka secara universal profesi Hakim dalam negara yang berkeadilan dimanapun diawaki oleh mereka yang “HONORS” yaitu tokoh yang sudah selesai dengan dirinya dan teruji integritasnya.
Maka yang mendasar bagi bangsa ini kedepan adalah bagaimana bisa merumuskan sistem hukum yang bisa menjamin agar kebebasan dan kemandirian Hakim termaksud tidak disalah gunakan hanya karena kepentingan sesaat, sebagaimana yang diterapkan dibanyak negara.
Untuk itu semua kedepan dibutuhkan kesadaran semua pihak utamanya para pemangku kekuasaaan yang membidangi hukum untuk melepas ego sentral kelembagaan masing-masing sebagai kontribusi mulia dalam merumuskan sistem hukum yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi dalam rangka mewujudkan supremasi sipil seutuhnya.
BUMN Sebagai SAPI PERAHAN.
Akibat tidak ada kejelasan model ekonomi baku yang dimanatkan dalam batang tubuh UUD 1945, maka paska jatuhnya Bung Karno terjadi proses perubahan tata kelola ekonomi dengan mencampur begitu saja antara konsep ekonomi kapitalis yang bercirikan konglomerasi swasta dengan konsep ekonomi komunis yang bercirikan konglomerasi negara.
Dalam prakteknya, kekayaan alam yang melimpah ruah atas nama “dikuasai negara” kemudian dibagi-bagi sedikit ke BUMN dan porsi yang besar dibagikan ke kroni penguasa. Dan hampir semua cabang produksi diurus oleh negara melalui keberadaan ratusan BUMN dengan anak dan cucu perusahaannya. Tapi rakyatnya harus mencari nafkah sendiri dengan berebut mengkais rezeki dari sisa-sisa berkah yang belum dikuasai konglomerat kroni penguasa.
Lantas rumus darimana kalau tidak muncul kesenjangan sosial yang begitu menganga, dan jaminan dari mana bahwa negara akan hadir saat rakyat kecil berhadapan dengan pemegang kapital. Dari konsep ekonomi itu pula berpuluh tahun kita melihat pemandangan yang memilukan dimana perusahaan swasta yang modal harus disiapkan sendiri dan kalau rugi juga ditanggung sendiri, tapi dilapangan harus bersaing dengan BUMN dimana modal dari negara dan kalau rugi ditanggung negara.
Seperti dalam TENDER proyek Pemerintah umpamanya, pihak swasta bersaing melawan BUMN, sudah barang tentu pihak swasta pasti kalah. Namun ironinya dilapangan yang mengerjakan proyek termaksud justru pihak swasta yang kalah dalam tender termaksud, yaitu dengan menjadi sub kontraktor. Lantas akal sehat dari mana kalau BUMN bukan sebagai “SAPI PERAHAN” politisi terlebih yang sedang berkuasa.
(Bersambung Pada Tulisan Ke-5 Tentang Kesangsian Sebagian Anak Bangsa Terhadap Pancasila, Suburnya Kemunafikan Dalam Budaya Dan Pentingnya Reformasi Dalam Syiar Agama).