Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi.
Faktapers.id –Berbeda dengan dongeng, legenda, kisah atau bahan indoktrinasi, sebuah sejarah mutlak disusun berdasarkan kejadian nyata dimasa lalu dan berangkat dari teori yang disusun oleh perumus tulisan sejarah. Dan karenanya, maka sejarah harus mampu merekontruksi sejumlah komponen menjadi sebuah bangunan yang tidak sekedar menceritakan apa dan bagaimana sebuah peristiwa terjadi. Tapi juga harus mampu menjawab pertanyaan MENGAPA peristiwa tersebut terjadi yaitu latar belakang atau sebab musabab yang mengantar terjadinya peristiwa tersebut. Sudah barang tentu, kebenaran dari jawaban pertanyaan MENGAPA tersebut sama sekali bukan sebuah karena dogma, tapi kebenaran yang berada pada wilayah filsafat, karenanya harus bisa diterima oleh akal sehat secara universal.
Sementara dongeng, legenda, kisah dan apalagi bahan indoktrinasi disusun bisa dengan memanfaatkan sebagian kecil saja dari sebuah peristiwa yang nyata terjadi yang kemudian dibuatkan persepsi karangan si penyusun, tak peduli dengan memutar balikkan fakta dan atau bertentangan dengan akal sehat sekalipun.
Yang pasti dengan sejarah, kedepan sebuah bangsa mempunyai pelajaran dalam membangun peradabannya, sehingga generasi penerusnya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama yang pernah dibuat pendahulunya.
Validitas Sejarah Kudeta G’30 S/PKI.
Berangkat dari rumusan bahwa sejarah disusun berdasarkan sebuah teori, maka dengan mudah kita bisa melakukan uji validitas sebuah rumusan sejarah, tak terkecuai sejarah seputar pergantian kekuasaan dari Bung Karno kepada Suharto termasuk penggalan peristiwa yang difilmkan dengan berjudul Pengkhianatan G 30’S/PKI.
Inti rumusan sejarah termaksud adalah Bung Karno sebagai Presiden dicopot oleh MPRS karena ia terlibat G 30’S/PKI yang hendak kudeta. Sudah barang tentu kudeta yang dimaksud adalah terhadap Pemerintahan yang sah. Sementara pemerintahan yang sah dipimpin oleh Bung Karno itu sendiri, artinya Bung Karno hendak mengkudeta dirinya sendiri.
Maka untuk menguji kebenaran rumusan sejarah yang menyebutkan Peristiwa G 30’S/PKI akan melakukan kudeta, bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan MENGAPA PKI harus melakukan KUDETA, bukankah posisi PKI saat itu sangat diuntungkan. Disamping sebagai partai Parlemen yang dalam Pemilu 1955 sebagai pemenang ke 4, PKI adalah “ANAK EMAS” Bung Karno. Kalau saja jawabannya belum juga meyakinkan, maka bisa diajukan pertanyaan lain yaitu MENGAPA yang harus dihabisi adalah Pimpinan TNI AD ? Bukankah untuk sebuah kudeta lebih praktis kalau yang di DOR langsung BK saja.
Begitu pula terhadap alasan karena Pimpinan TNI AD tidak setuju dengan konsep pembentukan Angkatan Kelima gagasan Bung Karno, maka alasan bahwa PKI akan KUDETA menjadi GUGUR dengan sendirinya. Dan kalau betul peristiwa biadab tersebut bukan berlatar belakang G 30’S/PKI hendak melakukan kudeta, lantas untuk apa mereka menghabisi Pimpinan TNI AD. Maka muncul pertanyaan yang terakhir yaitu MENGAPA yang menghabisi Pimpinan TNI AD justru Pasukan Pengawal Presiden (Cakra Birawa)?.
Dapat dipastikan jawaban dari 3 pertanyaan termaksud mustahil bisa diterima akal sehat, apalagi faktanya Bung Karno kemudian secara perlahan diganti oleh Suharto,dan sampai dengan akhir hayatnya berstatus sebagai tahanan rumah.
Maka wajar saja kalau sejumlah ahli menyebut G 30’S/PKI adalah KUDETA MERANGKAK. Dan untuk membuktikan kebenaran bangunan scenario sebagai KUDETA MERANGKAK termaksud kini Arsip USA tetang keterlibatan CIA dalam kasus tersebut dengan mudah bisa diakses. Dan sudah barang tentu keterlibatan USA dalam pergantian kekuasaan dari Bung Karno ke Suharto dengan pintu masuk G 30’S/PKI tersebut dipastikan terkait dengan perubahan strategi USA membendung komunisme , akaibat besarnya korban yang jatuh pada perang di Vietnam, maka untuk di Indonesia ditempuh dengan “perang” intelejen.
Hilangnya Akal Sehat dan Nurani Sebagian Elit Bangsa.
Adalah fakta kalau anak PKI dalam jumlah puluhan juta selama Orde Baru peluang pekerjaan yang terbuka untuk yang wanita adalah menjadi PSK (Pekerja Sex Komersial) atau PRT (Pembantu Rumah Tangga). Sementara yang pria peluangnya hanyalah menjadi tukang tambal ban, kuli bangunan dan atau tenaga kasar lainnya. Jangankan menjadi Anggota TNI dan atau PNS, sekedar untuk menjadi karyawan pabrik swasta saja tidak mungkin bisa, karena terhalang status bersih lingkungan sebagai anak PKI.
Karena kegigihannya paska lengsernya Suharto sebagian dari anak PKI kemudian ada yang bisa menduduki jabatan politik khususnya dilingkungan legislatif, melalui partai-partai yang ada. Yang pasti mereka memenuhi persyaratan hukum dan demokrasi untuk tampil sebagai anggota legislatif mengalahkan banyak komperitor lainnya tak terkecuali dari lingkungan purnawirwan TNI/Polri. Mereka inilah yang kemudian dituduhkan oleh sejumlah kalangan sebagai gerakan PKI bangkit.
Kondisi tersebut lebih nyata ketika seorang JKW yang terlahir dan dibesarkan dibantaran sungai dan issukan orang tuanya adalah kader PKI terpilih menjadi Gubernur DKI dan kemudian menjadi Presiden. Yang pasti JKW adalah Presiden yang tidak mempunyai ikatan dan kaitan masa lalu (Orba), kiranya wajar sejumlah pihak ketakutan terhadap baying-bayang diri sendiri karena masa lampaunya. Disanalah maka sewaktu Pemilu 2019 pihak-pihak yang dimasa lalu bermasalah dengan sekuat tenaga upaya menghalangi pak JKW untuk tampil kembali menjadi presiden. Hal yang sejenis juga terjadi belakangan ini, dimana sejumlah tokoh termasuk mantan Panglima TNI yaitu Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo kembali menggelindingkan issue PKI bangkit secara terbuka.
Sungguh Penulis sendiri yang kebetulan kenal bahkan secara “ideologis” dengan Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menjadi heran karena baliau bukan lagi Jenderal Gatot yang saya kenal dulu. Seolah beliau tidak tahu bahwa ideology besar dunia apalagi komunisme telah lama bangkrut, lantas bagaimana akan menghidupkan komunisme yang kopral–jenderal, bodoh-pinter dan sejenisnya, dengan jatah sama.
Sementara sebagai paham juga sudah bercampur dengan paham lainnya. Di RRC umpamanya, kini dikenal konglomerasi swasta, sebuah konsep ekonomi yang bertentangan dengan prinsip dasar ekonomi komunisme yaitu konglomerasi negara. Begitu juga tentang alasan bahwa komunisme yang anti agama, bukankah dibekas negara-negara komunis, ternyata rumah-rumah ibadah tetap utuh berdiri.
Adalah logika yang terbalik-balik, kalau ada bangsa yang sudah memasuki era demokratisasi akan menghidupkan komunisme. Sementara di negeri kita yang teriak keras anti komunis, ternyata tidak ada satu pun yang menentang praktek konsep ekonomi komunis seperti GOJEK dan UBER. Bisa jadi sesungguhnya mereka tidak mengerti yang ucapkan atau hanya karena kehabisan issue, sehingga issue PKI digelindingkan kembali, mengingat issue tersebut terlanjur tertancap dibawah sadar sebagian anak bangsa.
Lantas dimana hati nurani, rasa kemanusian dan apalagi kenegarawanan sejumlah elit kita, dan apalagi mereka yang dahulu menjadi bagian dari Orde Baru. Sungguh mereka tega, secara sadar membikin negara gaduh berkepanjangan. Padahal tanpa kemauan menghentikan cara-cara lama tersebut, cepat atau lambat anak dan atau cucu PKI kelak bertanya kepada mereka, siapa sesungguhnya yang bikin negara kini amburadul, PKI kah atau Pihak lain ?. Siapakah yang bagi-bagi Sumber Daya Alam untuk segelintir kroni penguasa, sehingga kini kesenjangan begitu menganga, PKI kah atau Pihak lain?. Siapakah yang menikmati fasilitas per Bank an selama berpuluh tahun, PKI kah atau Pihak lain ?. Siapakah yang berpesta pora dengan kebijakan BLBI, PKI kah atau pihak lain. Dan siapakah pelaku Mega Korupsi serta praktek Mafia dihampir semua bidang kehidupan, PKI kah atau pihak lain.
Bukankah sebagai bangsa terlebih mereka yang dulu menjadi bagian dari Orde Baru untuk menutup masa lampau dan janganlah terus menggaruk-garuk bekas luka lama yang dulu memang penuh nanah.