Takalar, Faktapers.id – Paradigma bernegara kita telah mengalami pergeseran dari mazhab negara kekuasaan _(machtstaat)_ menjadi negara hukum konstitusional (Constitutional Legal State)_. Hal inilah yang mentransformasi seluruh sendi kehidupan bernegara, bermasyarakat termasuk penyelenggaraan pemerintahan agar menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi dan sekaligus menjadi barometer bersikap dan bertindak _(Supremacy of law)._
Tidak boleh ada Institusi, lembaga negara, kelompok masyarakat dan atau bahkan masyarakat itu sendiri berperilaku melampaui hukum sebab hukumlah titik temu untuk menyelesaikan segala friksi dan disparitas yang ada secara luhur dan bermartabat.
Hak angket DPRD Takalar sebagai salah satu Instrumen pengawasan legislatif dan perwujudan fungsi _check and balance_ dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun hal tersebut haruslah dilaksanakan sesuai dengan prosedur (formil) regulasi dan substansi (materil) regulasi yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan yang ada.
Sebab barometer keabsahan dan mengikatnya suatu produk hukum, termasuk didalamnya produk hukum politik DPRD (Angket) adalah terpenuhinya kesesuaian formil dan materil objek yang dilakukan terhadap per UU ngan.
Hak angket yang digulirkan oleh DPRD Takalar secara prinsipil dan fundamen telah menabrak sendi sendi pokok bernegara dan berhukum _(Wetmatigheid Van Het Bestuur)_ sebab bertentangan dengan prosedur dan materil yang terdapat dalam UU MD3 dan PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Tatib DPRD.
Hal ini bukan perkara yang ringan dalam Ilmu hukum _(Rechtleer)_ sebab, berakibat pada tidak sahnya hak angket tersebut dan semua tindakan hukum maupun produk hukum yang timbul akibat dilaksanakannya hak angket tersebut juga menjadi tidak sah _(Unlegitimate)_ dan batal demi hukum _(Null and Void)._
Lebih jauh lagi, upaya melanjutkan pembahasan angket yang cacat hukum dan tidak sah baik dilakukan oleh Institusi asal ataupun pihak lain yang terlibat didalamnya (baik personal maupun Instansi) dalam konsepsi hukum disebut sebagai _omission act of the legal violation_ (tindakan pembiaran dan pengabaian pelanggaran) termasuk dalam kategori perbuatan yang melawan hukum.
Salah satu tahapan dalam angket misalnya yakni pemanggilan terhadap subyek hukum (Orang ataupun Instansi) untuk dimintai keterangan, itu menjadi kehilangan aras hukum dan kekuatan mengikatnya _(Unlegally binding)_ sebab objek Instrument pelaksaannya telah mengandung cacat hukum (formil – materil) dan berakibat batal demi hukum artinya panggilan tersebut kehilangan aras mengikat untuk dihadiri.
Dalam ilmu hukum, neraca prosedur sama pentingnya dengan substansi sehingga keterpenuhan kesesuaian dengan UU dan per UU ngan terkait menjadi suatu keharusan sebagaimana prinsip dalam hukum tata negara _(Nothing Authority Without Responsibility)._
Sikap abai dan cenderung tutup mata terhadap prinsip legalitas konstitusional tersebut kontra produktif dan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945 dan sedang menunjukkan watak kekuasaan yang sejatinya telah kita lawan bersama dan meninggalkannya ditandai dengan tumbangnya orde baru menuju orde reformasi konstitusionalisme.
Sebaliknya, desain konstruksi bernegara dalam konstitusi kita, menempatkan negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) sebagai subjek yang paling utama harus menjalankan nash nash atau pasal pasal dalam Konstitusi, sebab merekalah yang diberikan resources dan sumber daya yang besar dimana rentan dideviasi, didistorsi atau disimpangi kalau tidak dijalankan berdasarkan hukum dan konstitusi.
Mari menjadi warga negara yang baik, berbudi luhur dan Institusi negara yang akuntabel dan bermartabat dengan senantiasi berapa pada rel, koridor dan gravitasi hukum bukan nafsu dan syahwat kekuasaan _(Promulgate based on legal rules)._
Penulis: Asrullah (Pengamat Hukum Madani Institute CIS dan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UNHAS). Anchank