Transportasi dan Ruang Publik yang Tidak Ramah Anak Picu Kekerasan Pada Anak

538
×

Transportasi dan Ruang Publik yang Tidak Ramah Anak Picu Kekerasan Pada Anak

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Faktapers.id – Moda transportasi dan ruang publik yang tidak ramah anak dapat memicu kasus kekerasan dan diskriminasi pada anak. Mengingat kedua jenis sarana infrastruktur ini bukan menjadi tugas teknis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Maka Kemen PPPA terus berupaya memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menghadirkan moda transportasi dan ruang publik yang nyaman dan ramah untuk digunakan anak. Setiap anak Indonesia berhak untuk mendapatkan penunjang gerak yang aman dari kekerasan, diskriminasi serta tidak menghambat tumbuh kembangnya.

“Membangun infrastruktur ramah anak adalah membangun sumber daya manusia (SDM) ke depan, tidak hanya upaya membangun secara fisik, tapi juga membangun kultur sosial yaitu perilaku masyarakat untuk menghargai dan disiplin mengikuti aturan infrastruktur tersebut. Hal ini harus dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal setiap daerah, dan tentunya memerlukan kolaborasi semua pihak melalui langkah konkrit demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi 80 juta anak Indonesia. Membangun moda transportasi dan ruang publik ramah anak merupakan salah satu kontributor dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA 2030),” ungkap Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Rohika Kurniadi Sari dalam Diskusi Publik Infrastruktur Ramah Anak dengan tema “Moda Transportasi dan Ruang Publik Ramah Anak” yang dilaksanakan secara virtual.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi contoh praktik baik yang telah menghadirkan moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Prestasi ini diharapkan dapat memotivasi Provinsi lain untuk ikut mereplikasi praktik tersebut demi mengoptimalkan tumbuh kembang seluruh anak Indonesia. “Praktik ini sangatlah penting dan harus dilaksanakan semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media massa juga harus turut serta bertanggungjawab menghadirkan infrastruktur yang ramah anak,” ujar Rohika.

Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Provinsi DKI Jakarta, Tuty Kusumawati menjelaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berupaya mendukung kebijakan pemenuhan hak anak melalui berbagai macam peraturan daerah, peraturan Gubernur, dan kebijakan lainnya. Salah satunya dengan menyediakan infrastruktur berupa moda transportasi dan ruang publik ramah anak. “Di DKI Jakarta kami telah menghadirkan 6 (enam) Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersertifikasi ramah anak. Kami juga telah berkomitmen bersama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyedia transportasi publik untuk menghadirkan pos pencegahan dan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu sebanyak 23 pos di halte Transjakarta, 13 pos di stasiun MRT dan 6 pos di Halte LRT,” jelas Tuty.

Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan 177 unit bus sekolah yang menayangkan materi KIE terkait stop bullying, menyediakan lebih dari 300 unit bus transjakarta dengan lantai yang rendah (lower tier deck) agar memudahkan ibu hamil, anak, dan lansia saat menggunakannya. Tuty berharap ke depannya, infrastruktur ramah anak ini dapat dimasukan ke dalam syarat perizinan pembangunan.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI), Luhur Budijarso mengungkapkan bahwa dunia usaha di bawah APSAI terus berupaya memberikan dukungan dalam membangun tumbuh kembang anak melalui infrastruktur ramah anak, khususnya terkait moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Adapun salah satu peran dunia usaha dalam mendukung upaya tersebut yaitu menyediakan bisnis berupa alat transportasi atau jasa dan layanan yang ramah anak dengan memegang komitmen 3P, meliputi policy (kebijakan), product (produk), dan program.

“Berbagai tantangan ke depan tentunya akan terus kami upayakan dalam mendukung terwujudnya infrastruktur yang ramah anak, seperti memperluas jangkauan ke 55 juta perusahaan, menciptakan Indonesia Layak Anak (IDOLA), memperkuat infrastruktur organisasi APSAI, serta memperluas isu lebih dari sekedar tanggungjawab sosial perusahaan (CSR),” terang Luhur.

Di lain pihak, Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengingatkan bahwa esensi utama dalam pembangunan kota yang layak untuk anak tidak hanya membangun secara fisik tapi juga membangun manusia, serta menginternalisasi nilai-nilai tumbuh kembang anak ke dalam program pembangunan.

“Diperlukan pembangunan kultur atau budaya sebagai pendekatan dalam membangun kota ramah anak yaitu dengan membangun kesadaran masyarakat untuk menanamkan nilai kepedulian dan kemandirian kepada anak dalam pertumbuhannya. Hal ini membuat anak menjadi lebih mandiri, kompetitif, kaya akan pengetahuan dan pengalaman. Masyarakat sebagai warga kota pun harus tergerak dan saling peduli dalam menanamkan nilai-nilai tersebut, demi mengoptimalkan tumbuh kembang anak agar anak dapat mencapai kesejahteraan ketika dewasa nanti. Dengan demikian, kita dapat membangun kota yang welas asih sekaligus kota yang ramah anak,” tegas Yayat.

Pemerintah sendiri juga dinilai perlu melakukan upaya mitigasi ruang publik yang aman dalam teknologi seperti mengawal infrastruktur yang meliputi keamanan ruang cyber (cyberspace) yang ramah anak. Terkait hal ini, Widyaiswara Ahli Utama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Sri Cahaya Khoironi mengungkapkan budaya keamanan cyber belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan di ranah publik. Seringkali posisi anak dalam ekosistem layanan publik agak terabaikan. Padahal keamanan cyber adalah hal yang mutlak, mengingat kejahatan di dunia maya terus berkembang sesuai kemajuan teknologi.

Berdasarkan data Kominfo pada September 2020, penanganan konten negatif pada situs internet mencapai 1,3 juta konten. Konten pornografi masih menjadi masalah utama yang menjerat anak di internet yaitu sebanyak satu juta konten, baik anak disasar sebagai pengguna maupun ikut serta dalam konten pornografi tersebut. Hal ini menunjukkan secara infrastruktur masih banyak permasalahan.

“Untuk itu, diperlukan strategi keamanan siber sebagai kunci perlindungan anak yang harus dibangun berawal dari keluarga dan anak, tentunya harus dikawal secara kolaborasi dengan melibatkan lintas sektor baik pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat,” ungkap Sri Cahaya. Her

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *