Klungkung, Bali. faktapers.id – Tukin (tunjangan kinerja) sudah lama jadi sorotan masyarakat. Namun, tertutupi pencitraan daerah dan cerita kesuksesan pemimpinnya yang tidak terhenti, meski minim dampak riil kepada masyarakat. Belakangan, permasalahan ini mulai ramai. Karena kalkulasi tukin misterius. Bahkan, tidak berbasis kinerja. Apalagi, nominalnya setiap pejabat amat besar, di tengah kondisi daerah yang pas pasan. Sebut saja Sekda, tukinnya sebulan bisa mencapai kisaran Rp 50 juta sampai Rp 100 juta. Pantastis.
Masyarakat Klungkung sudah tidak bisa menahan diri. Seperti diungkapkan mantan Wakil Ketua DPRD Klungkung, Putu Tika Winawan, Jumat (13/12) kemarin. Dia mengaku miris melihat situasi ini. Tidak hanya kriteria dan kalkulasi tukin yang aneh.
Dasar regulasinya juga tidak jelas. Situasi ini terbongkar, setelah ada pergantian Mendagri dan turun SE Mendagri Tito Karnavian dengan Nomor
061/12052/SJ tentang Tata Cara Persetujuan Menteri Dalam Negeri terhadap Tambahan Penghasilan ASN di Pemerintah Daerah. Disana tertuang jelas, bahwa tukin atau TPP (Tunjangan Penghasilan Pegawai), haruslah disertai persetujuan lembaga dewan.
Kedua, harus dilandasi perkada. Itu semua dilabrak. “Lembaga dewan pun kecolongan. Mungkin saja tahu, tetapi memilih diam, karena hak-haknya, seperti Perdin, sudah dipenuhi eksekutif,” sorot politisi Partai Nasdem ini.
Tidak ada alasan, ketika SE Mendagri turun, eksekutif baru panik menyusun Perkada. Kemudian mencari dalih pembenaran, bahwa Pengesahan APBD Induk 2020 sebagai bentuk persetujuan lembaga dewan. Sebagaimana pengalamannya memimpin lembaga dewan, jelas, kalau soal APBD, itu namanya persetujuan bersama. Kalau persetujuan DPRD, tentu harus ada pembahasan khusus.
Menurutnya, Sekda Klungkung, nampaknya harus belajar lagi soal ini. Nah, sekarang detail tukin itu dibahas saja tidak, bagaimana mungkin bisa ada persetujuan dewan.
Padahal, disinilah lembaga dewan diklabui. Tapi tak berdaya karena tersumpal perdin. Bahkan, kebodohan banggar juga sangat terlihat, karena detail-detail anggaran seperti tukin, tidak ditanyakan lebih lanjut.
“Apa mungkin sengaja tidak ditanyakan, karena degosiasi perdin, hibah dan bansos sudah “aman”,” tegasnya.
Semestinya, bila kedua lembaga punya niatan baik, tukin ini semestinya dikupas tuntas. Seharusnya, draf persetujuan lembaga dewan soal tukin, sudah diajukan diawal, sebelum APBD Induk 2020 ketok palu dan dibahas tuntas dalam rapat gabungan.
Sehingga, disanalah dibahas bersama detail mengenai tukin ini, baik landasan hukumnya, kalkulasinya, bahkan sanksinya, bila pejabat terkait tak mampu memenuhi tuntutan kinerjanya, dibahas tuntas agar transparan.
Kalau alur ceritanya seperti ini, maka eksekutif menurut bisa dibilang terindikasi merampok APBD untuk memperkaya para pejabatnya, lantaran merealisasikan tukin tanpa sepengetahuan lembaga dewan.
Sesungguhnya, dimata hukum, ini terindikasi kuat masuk ke dalam tindak pidana korupsi, melanggar Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Seharusnya lembaga dewan protes keras, tetapi kok diam?. Kalau terjadi kelebihan pembayaran tukin, siapa yang mengontrol, siapa pula yang akan bertanggung jawab,” tegas politisi yang dikenal vokal ini.
Turunnya SE Mendagri, sebenarnya bukanlah dasar pembenaran bagi eksekutif. Ini adalah penegasan pusat, bahwa pemerintah daerah, seperti Klungkung sudah salah langkah.
“Jadi, ketika tukin ini tidak sesuai dengan SE Mendagri, berarti sejak awal pemkab sudah melakukan pelanggaran sejak tukin itu diberlakukan. Maka, Sekda dan Bupati, menurutnya semestinya harus bertanggung jawab. Sehingga sudah saatnya hukum ditegakkan, atas praktek-praktek dugaan perampokan APBD seperti ini. Tanpa ada persetujuan lembaga dewan,”jelas realisasi tukin ini inkonstitusional.
Mencermati, Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang dipakai dasar pemberian tukin, sesungguhnya juga sama seperti isi SE Mendagri, bahwa pada ayat 1, ditegaskan juga harus ada persetujuan lembaga dewan. Bahasa memperhatikan kemampuan keuangan daerah, maupun pemberian TPP harus berdasarkan pertimbangan beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan objektif lainnya, semestinya juga dapat dipahami dengan melihat realitas kondisi masyarakat, yang terus menjerit di tengah pencitraan pemerintah lewat prestasi pesanan.
Ketika tukin sudah sangat besar untuk pejabat, sementara masyarakat tidak merasakan manfaat nyata dari kinerja pejabat yang bersangkutan, bolehkah masyarakat berteriak, agar tukin itu diturunkan?. Besaran tunjangan haruslah realistis. “Realitanya, yang mengerjakan tugas sampai selesai, justru tenaga kontrak. Sementara yang dapat tukin, justru pejabatnya. Saya banyak menerima keluhan karna dianggap berani menyuarakan kebenaran,” ujar tokoh masyarakat asal Desa Selat ini.
Bupati menurutnya juga harus tranparan membuka kalkulasi tukin kepada publik, kalau memang tidak ada dugaan niat merampok APBD di dalamnya. Masyarakat Klungkung menunggu keberanian bupati, termasuk buka secara transparan berapa kali perdin lembaga dewan dalam APBD Induk 2020. Karena masyarakat juga risau, dengan aktivitas lembaga dewan yang kerjaannya hanya kunker, yang tidak ada hasilnya. Sama saja, lembaga dewan sesungguhnya juga patut diduga sedang merampok APBD. (Tim)