Singaraja.Bali.Faktapers.id -Polemik lahan yang direncanakan akan dibangun Bandara di Desa/Kecamatan Kubutambahan semakin tajam.Hal ini ditandai adanya sejumlah warga desa setempat yang mulai permasalahkan sewa menyewa (kontrak) yang dianggapnya Bendesa Adat tidak terbuka.
Dibentuknya kelompok yang menamakan diri Penyelamat Asset Desa Adat (PADA) yang secara terbuka dianggap menyerang Bendesa Adat Kubutambahan,Drs.Jro Pasek Ketut Warkadea.
Dikonfirmasi awak media Jro Pasek Ketut Warkadea yang didampingi Penyarikan desa adat Made Putu Kerta dan Gede Anggastia,tokoh masyarakat Kubutambahan yang juga ketua LSM Pemerhati Pembangunan Masyarkat Buleleng (P2MB),Minggu (15/11), menyebutkan mereka asbun bahkan tak memiliki kapasitas untuk bicara soal aset milik Desa Adat Kubutambahan yang dikontrak oleh PT.Pinang Propertindo sehingga apa yang disampaikan ke publik ngawur dan tak berdasar,”ujar Jro Pasek Ketut Warkadea.
Jro Warkadea mengatakan,dilahan seluas 370,80 hektar milik Desa Adat Kubutambahan rencanannya akan dibangun bandara.Namun rencana itu terbentur adanya ikatan hukum atas lahan duen pura dengan PT.Pinang Propertindo. Bahkan saat ini telah terbit sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT.PP.Bahkan Jro Warkadea membenarkan SHGB itu telah menjadi jaminan bank.
“Jaminan SHGB kepada pihak bank adalah urusan pihak kedua (PT.PP) selaku investor sehingga terbit akta tanggungan dan oleh notaries diterbitkan hak tanggungan oleh BPN Buleleng.Berdasar hak tanggungan itu investor manjaminkan SHGB itu ke bank.Dan kita tidak tahu menahu soal itu apalagi sampai memberikan persetujuan karena ranahnya berbeda, ”jelas Jro Warkadea.
Dijelaskan,SHGB berbeda dengan sertifikat hak milik (SHM).Selama ini,katanya,sebanyak 61 SHM milik Desa Adat Kubutambahan tetap berada ditangannya dan bukan dibawa oleh pihak PT.Pinang.
Dalam konteks ini,kata Warkadea,para pihak yang menyoal masalah tersebut tidak mengetahui dengan persis persoalannya sehingga terkesan asbun dan mencari sensasi saat berbicara soal itu ke publik.
“SHGB berbeda dengan SHM.Yang dijaminkan oleh PT.PP ke pihak ketiga (bank) itu merupakan SHGB dan itu urusan mereka (PT.PP),sedang SHM tetap dipegang oleh kami (Desa Adat Kubutambahan,red).Itu dua hal berbeda yang mesti diluruskan agar tidak memunculkan persepsi negatif dan terkesan memperovokasi warga,”imbuh Jro Warkadea.
Jro Warkadea menjelaskan,sejak awal pihaknya sepakat dengan Gubernur Bali soal lokasi bandara di Desa Adat Kubutambahan dengan ketentuan lahan tersebut tetap menjadi hak milik desa adat.”Ini sejalan dengan visi misi Gubernur Bali dengan jargon Nangun Sat Kerthi Loka Bali tidak melepas status hak milik duen pura.
Konsepnya mungkin dengan cara penyertaan modal atau kepemilikan saham.Pada saat kita bicara dengan gubernur soal itu masih ditangani oleh kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) melalui konsorsium PT.Angkas Pura I,PT.Pembangunan Perumahan dan Perusda Bali,” ungkapnya.
Sayang dalam perjalananya,kata Warkadea,sejumlah draft di sodorkan kepadanya yang berisi ketentuan pelepasan status hak milik lahan dari desa ada kepada konsorsium mapun pemerintah provinsi.
”Tanah duen pura dilepas statusnya menjadi milik konsorsium dan Pemprov Bali.Jelas dua usulan dalam draft itu saya tolak dan keberatan itu sudah disampaikan ke Wakil Bupati Buleleng bahwa draft itu tidak benar,” tegasnya.
Sedang soal uang sewa lahan,Jro Warkadea menyebut,dirinya mempunyai catatan terinci soal itu termasuk penggunaan anggaran untuk kepentingan desa adat.Bahkan sudah dirangkum dalam laporan pertanggungjawaban (LPJ) desa adat setempat.
Yang jelas,menurut Jro Warkadea,uang sewa lahan milik desa adat yang belum diselesaikan pihak PT.PP kepada Desa Adat Kubutambahan sebanyak Rp 2,169 miliar lebih. Rinciannya,uang sisa sewa sebesar Rp 1.501.933.500,- dan royalty sebesar Rp 667.500,000.
“Jadi kalau ada yang menyebut saya menilep terlebih disebutkan uang sewa sudah dibayar lunas,itu tidak benar dan saya pastikan itu bohong,” jelasnya.
Sementara itu dalam pengajuan SHGB atas tanah tersebut hanya menggunakan daftar hadir dan itupun beberapa orang telah meninggal dunia dan menuding Jro Warkadea tidak terbuka mengelola sewa lahan milik desa adat setempat seluas 370,80 hektar yang disewa selama 30 tahun oleh PT.Pinang Propertindo.
Menurut Ketut Ngurah Mahkota,”Ada perjanjian yang sangat dirahasiakan oleh Warkadea, mungkin ini sudah waktunya diberikan jalan oleg beliau untuk membuka semua ini,”ujar Ngurah Mahkota.
Wakil ketua PADA sekaligus LSM Garda Tipikor Jro Budiasa (13/11) mengatakan Warkadea diduga telah membohongi dan merugikan masyarakat luas.
”Kami selaku warga desa pakeraman desa Adat Kubutambahan sangat merasa dirugikan, yang jelas prilaku kelian desa adat membohongi 38 Desa-desa Linggih termasuk kerama desa adat Kubutambahan ditipu dan tidak pernah yang namanya menyelenggarakan paruman baik pemasukan pengeluaran cukup di interen-nya saja tetapi kami bukan mau mencampuri.
Dikubutambahan ini aneh saya lahir, nenek moyang saya disini namun saya tidak dianggap desa Negak/Linggih saya di anggap desa sampingan katanya ada awig-awig yang mengatur tetapi itu dibuat sendiri,” kata Jro Gede Budiasa. Des