Jakarta, faktapers.id – Memperingati Hari Buruh Migran Sedunia 2020, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meluncurkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2020 bertajuk “Menagih Pelindungan Buruh Migran Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19′ yang mengulas tentang kerentanan buruh migran dengan pendekatan pengelolaan data.
Selama ini, SBMI telah bekerja dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan bagi Buruh Migran Indonesia dan keluarganya. SBMI menentang perbudakan, pemerasan dan perdagangan orang. Organisasi buruh migran ini juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi bagi buruh migran dan keluarganya. SBMI juga
mendukung penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan gender, non diskriminasi serta membangun persaudaraan dan solidaritas gerakan sosial, baik di tingkat nasional, regional dan internasional.
SBMI telah melakukan kerja-kerja penanganan kasus yang dialami oleh buruh migran, baik di sektor darat maupun sektor laut. Catahu 2020 ini mengungkap realitas data yang selama ini ditangani SBMI.
“Berdasarkan pendokumentasian aduan, sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2020, trennya cenderung meningkat. Berdasarkan analisis SBMI, faktor pendorong terjadinya migrasi tidak hanya faktor kemiskinan tetapi juga karena adanya pemiskinan,” jelas Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno. Di Jakarta, Selasa, 22/12/2020.
Dalam kurun waktu antara tahun 2010 hingga 2020, SBMI mendokumentasikan total aduan kasus sebanyak 3.099 kasus. Tren peningkatan pertahunnya mencapai rata-rata 20,75%, dengan aduan tertinggi terjadi di tahun 2020 sebanyak 643 kasus. Dalam 10 tahun terakhir, sektor Pekerja Rumah Tangga menempati urutan tertinggi, yaitu sebesar 55,44% (1.718 kasus), diikuti oleh kasus ABK Perikanan sebesar 14,23% (441 kasus), kasus TPPO modus pengantin pesanan sebesar 1% (31kasus), dan kasus buruh pabrik sebesar 13,78% (427 kosus). Sedangkan sisanya, sebesar 15,55% (482 kasus) adalah jenis kasus dari sektor pekerjaan yang lainnya.
Khusus terkait kasus ABK Perikanan, investigasi SBMI bersama Greenpeace Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun terakhir mengungkap penyebaran asal ABK Perikanan yang diberangkatkan ke luar negeri. Sebagian besar ABK Perikanan berasal dari Pulau Jawa. lalu diikuti oleh Sumatera, Indonesia bagian Timur dan Kalimantan. Proses pemberangkatan ABK Perikanan ini dipusatkan di wilayah pantai utara Jawa Tengah. Adapun tujuan utama penempatan adalah di kapal-kapal ikan berbendera Taiwan dan kapal berbendera Cina.
Sementara sepanjang tahun 2020, SBMI menerima pengaduan sebanyak 643 kasus. Sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih menempati urutan pertama, yaitu sebanyak 232 kasus, diikuti oleh pekerjaan di sektor ABK Perikanan sebanyak 129 kasus, sektor buruh pabrik sebanyak 100 kasus, dan sisanya di sektor lain.
Di tahun 2020, SBMI tampil sebagai pihak Terkait kontra pemohon atas permohonan uji Indonesia (Aspataki) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
SBMI menilai, 3 pasal UU PPMI yang diajukan Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja SBMI menilai, 3 pasal UU PPMI yang dipersoalkan Aspataki, yaitu Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a merupakan jantung bagi pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Pada proses advokasi yang berjalan sampal 11 persidangan, akhirnya MK memberikan putusan bahwa permohonan dari Aspataki tersebut ditolak seluruhnya.
Meski demikian, tantangan advokasi kebijakan masih begitu nyata terlihat di depan mata ketika tiba-tiba beberapa pasal UU PPMI masuk ke Omnibus Law UU Cipta Kerja. Tumpang tindih kewenangan yang sudah dirapikan oleh UU PPMI, justru diobrak-abrik UU Cipta Kerja hingga menjadi semakin tidak jelas.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa buruh migran masih jauh dari keadilan hak, keadilan hukum, sosial dan kesehatan di tengah situasi pandemi Covid-19.
Catatan tersebut membuktikan bahwa perjuangan belum bisa dinikmati oleh kelompok rentan, salah satunya adalah buruh migran dan anggota keluarganya. Namun perjuangan tidak boleh berhenti dan putus asa. Perjuangan akan terus berlangsung dengan upaya pendekatan penguatan lintas sektor
CATAHU 2020 ini bisa menjadi acuan untuk membangun strategi bersama, mendesain peningkatan perlindungan buruh migran melalui berbagai mekanisme yang ada serta untuk memperkuat gerakan buruh migran dari hulu dan hilir dengan memakai mekanisme saling berbagi informasi lintas sektor.
Data-data yang terdokumentasikan di CATAHU ini juga bisa menjadi rujukan untuk perubahan regulasi yang lebih melindungi kelompok rentan atau yang direntankan.
khususnya percepatan RPP ABK Perikanan.
“Peran media diharapkan akan lebih efektif dalam advokasi kasus dan advokasi kebijakan tentang buruh migran. Perspektif dan pemahaman yang sama terkait dengan mekanisme perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya diharapkan juga akan semakin meningkat, sehingga dapat terbangun strategi bersama untuk mendesain peningkatan
pelindungan buruh migran melalui berbagai mekanisme yang ada,” pungkas Hariyanto. Her