Cirebon, faktapers.id – Dalam upaya merespons tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini, sekaligus meningkatkan kesiagaan dan kewaspadaan lembaga pendidikan berasrama dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengunjungi Pondok Pesantren Buntet Cirebon untuk mengampanyekan dan meningkatkan pemahaman para santri tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan langkah-langkah mencegah kekerasan seksual.
“Kemen PPPA telah diperkuat fungsinya untuk memberikan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020, namun yang terpenting upaya ini harus didukung dengan peningkatan pengetahuan anak tentang kesehatan reproduksi. Mengingat hampir sebagian besar anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual, tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu termasuk tindak kekerasan seksual,” ungkap Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu pada kunjungannya bersama Staf Khusus Menteri PPPA Bidang Perempuan, Agung Putri Astrid dalam Kampanye ‘Santri Talk: Bersama Wujudkan Ruang Belajar Aman Bagi Pelajar dan Santri’ di Cirebon (20/12/2021).
Pribudiarta menilai pendidikan kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk disosialisasikan secara luas karena masih banyak masyarakat, termasuk para pelajar yang tidak mengerti apa itu sistem reproduksi dan mengapa kesehatan reproduksi harus dijaga.
“Berbagai kasus menunjukan baik korban maupun pelaku seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah masuk dalam lingkaran tindakan kekerasan seksual,” ujar Pribudiarta.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri PPPA Bidang Perempuan, Agung Putri Astrid menyatakan bahwa pengetahuan terkait kesehatan reproduksi sangatlah penting, bukan hanya untuk diketahui dan dipahami, tetapi juga harus diamalkan dengan benar.
“Hal ini disebabkan karena sistem reproduksi ada di tubuh kita masing-masing, maka harus bisa kita kenali dan perlakukan dengan benar. Demikian pula yang ada di tubuh orang lain, kita harus menghargainya,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, KH Marzuki Wahid menegaskan bahwa zina dan kekerasan seksual memiliki perbedaan yang terletak pada konsep persetujuan (consent).
“Zina sangat dilarang di dalam hukum Islam, walaupun dilakukan karena ada consent, sedangkan kekerasan seksual adalah tindakan yang didasarkan pada paksaan dan menimbulkan penderitaan. Oleh sebab itu, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) sangat dibutuhkan untuk menghentikan tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini,” tegas KH Marzuki.
Lebih lanjut, KH Marzuki menilai pentingnya lembaga pendidikan memiliki tenaga pendidik yang mempunyai pemahaman dan pengetahuan baik terkait kesehatan reproduksi dan pendidikan serta pengasuhan ramah anak.
“Lembaga pendidikan juga harus memiliki kepustakaan yang tepat, serta sarana prasarana seperti ruang pengaduan bagi siapapun yang ingin melapor karena merasa terancam dengan tindakan kekerasan seksual,” tutup Marzuki.
Pada akhir rangkaian acara yang dihadiri para pelajar putri dari Pondok Pesantren Buntet dan berbagai madrasah di Cirebon ini, juga dilaksanakan kesepakatan bersama melalui sebuah deklarasi yang berisi komitmen dari para pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (NU), untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan seksual di sekolah, dan mendorong tersedianya ruang pengaduan bagi siswa, serta hadirnya sarana belajar yang nyaman dan aman bagi siswa. Her