Jabodetabek

Penelitiannya Dekan FEB UI: Bagaimana Cukai Rokok bisa Cegah Stunting Viral di Twitter

223
×

Penelitiannya Dekan FEB UI: Bagaimana Cukai Rokok bisa Cegah Stunting Viral di Twitter

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Faltapers.id –Respon masyarakat baik pro dan kontra ketika Pemerintah telah mengumumkan kenaikan cukai rokok senilai 10 hingga 15 persen pada awal Tahun 2023 ini. Salah satu pihak yang pro atas kenaikan cukai rokok adalah Netizen Twitter dengan akun @bfndrk, yang viral dengan 20 ribu likes dan 6.925 Retweet.

Viralnya tanggapan akun twitter tersebut dikarenakan pihaknya mencantumkan Screenshot (tangkapan layar) penelitian dari Universitas Indonesia. Penelitian itu menyebutkan bahwa rokok dapat menyebabkan stunting (kondisi gagal tumbuh karena kurang gizi), sehingga menurutnya kenaikan cukai adalah salah satu solusi untuk mencegah stunting.

 

Merespon viralnya tweet tersebut, Teguh Dartanto PhD selaku Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis dan Ketua atas penelitian yang viral dikutip itu mengaku bangga. Sebab katanya penelitiannya tidak hanya diakomodasi oleh masyarakat lewat viral di Twitter, namun juga diadopsi sebagai sebuah kebijakan berupa kenaikan cukai.

“Sebagai peneliti ada sebuah kebanggaan dong, penelitiannya dijadikan sebuah kebijakan, dan ibaratnya diakomodasi oleh masyarakat. Kami memang ekonom pertama yang eksplor isu seperti ini (hubungan rokok dengan stunting). Karena selama ini rokok itu selalu (dihubungkan) dengan isu kesehatan saja,” ungkap Teguh dalam Webinar Komunitas SEVIMA, Selasa (24/01/2023) pagi.

Hubungan Rokok dengan Stunting

Tak sedikit netizen di Twitter mempertanyakan hubungan Rokok dengan Stunting. Terlebih isu ini memunculkan pro kontra di masyarakat. Di Webinar Komunitas SEVIMA, Teguh mengupas hal tersebut.

Hubungan rokok dengan stunting menurut Teguh bermula dari bagaimana perokok membelanjakan uang di keluarganya. Kepala keluarga yang merokok, memprioritaskan uangnya untuk belanja rokok dibandingkan untuk kesejahteraan keluarga.

Bahkan ketika mendapatkan bantuan sosial untuk pemerintah, ternyata digunakan juga untuk merokok. Teguh menyebutkan bahwa secara rata-rata merokok lebih banyak dibanding dengan yang bukan penerima bantuan sosial.

“Penelitian ini kami lakukan dengan mengikuti 7.000 lebih data orang tua dan anak selama puluhan tahun yang diperoleh Teguh dari Indonesia Family Life Survey 2018, ditambah dengan penelitian langsung yang ia lakukan di Demak Jawa Tengah. Dari situlah kami tim peneliti dari Universitas Indonesia menyimpulkan, bahwa orang tua yang merokok, cenderung anaknya stunting,” ungkap Teguh.

Hubungan Rokok dengan Stunting menurut Teguh memprihatinkan, karena yang dibakar oleh para perokok bukan hanya uang pribadi maupun uang pemerintah. Tapi perokok juga berpotensi membakar masa depan anak, karena stunting menurunkan kecerdasan dan kesehatan anak di masa depan.

Proses membakar masa depan anak tersebut, menurut Teguh, telah dimulai sejak sang anak di dalam janin. Karena selain masalah gizi akibat perokok memprioritaskan membeli rokok dibanding makanan untuk keluarga, perokok juga mengekspos ibu hamil sebagai perokok pasif.

“Bahkan ketika anak tumbuh dewasa, daripada untuk anaknya sekolah, uang malah digunakan untuk beli rokok. Saya terenyuh sekali melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting, hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional memikirkan diri sendiri dibandingkan anaknya. Kenapa bisa tidak rasional? Karena rokok mengandung zat adiktif!,” jelas Teguh atas penelitiannya bersama tim di Universitas Indonesia yang juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional terkemuka.

*Harapan Dekan FEB UI atas Viralnya Penelitian*

Melalui viralnya penelitian hubungan Rokok dan Stunting, Teguh berharap masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai perlu dinaikkan. Yaitu: bahwa dengan harga rokok semakin mahal, maka semakin orang tidak mau beli.

Teguh juga berpesan kepada masyarakat untuk memprioritaskan gizi dan pendidikan anak. Terlebih khusus untuk penerima bantuan dari Pemerintah (Program Keluarga Harapan / PKH), seluruh penerima telah menandatangani klausul bahwa bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk merokok. Ia berharap bahwa jangan sampai sumber daya sangat besar yang diberikan pemerintah untuk masyarakat kurang mampu, justru digunakan untuk membeli rokok.

“Daripada duit dibakar, mahal, mending berhenti merokok saja. Itu tujuan utamanya dari kenaikan cukai. Penelitian kita juga menunjukkan, masih ada perokok yang rasional. Artinya ketika rokok mahal, ada yang berhenti, ada yang mengurangi rokoknya, sehingga akhirnya akan mengurangi stunting” pungkas Teguh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *