“Pemerintah tidak bermaksud menggunakan amnesti, grasi, atau abolisi untuk membebaskan para pelaku tindak pidana. Sama sekali tidak,” tegas Supratman dalam keterangan di Kementerian Hukum dan HAM pada Jumat (27/12/2024).
Supratman menjelaskan bahwa meskipun sistem hukum Indonesia mengatur adanya mekanisme pengampunan terhadap pelaku tindak pidana, pemberian pengampunan tersebut tidaklah otomatis. Ia menambahkan bahwa kewenangan Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai contoh, Supratman mengungkapkan bahwa pengampunan dalam bentuk tax amnesty atau pengampunan pajak pernah diterapkan dalam konteks perekonomian dan keuangan negara, yang telah dilakukan dua kali sebelumnya.
“Undang-undang yang ada mengatur pemberian pengampunan, namun sekali lagi, itu tidak serta merta diberikan kepada pelaku tindak pidana, apalagi koruptor,” lanjutnya.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan regulasi terkait mekanisme pengampunan tersebut, dan menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo. Supratman menegaskan bahwa Presiden akan menjalankan kewenangannya sesuai dengan ketentuan konstitusi dan tidak akan melanggar aturan hukum yang berlaku, termasuk Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kementerian Hukum dan HAM memastikan bahwa pemberian amnesti, grasi, dan abolisi akan dilakukan dengan mengikuti prosedur dan regulasi yang berlaku demi memastikan tidak adanya penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian pengampunan tersebut.
(migo)