Klaten, faktapers.id – Ketua Wadah Generasi Anak Bangsa (WGAB) wilayah Jawa Tengah, Trimo Setyadi, mengkritik sanksi bagi 5 pelajar yang melakukan perundungan atau bullying di SMP Negeri 3 Karangdowo, Kabupaten Klaten.
Para pelajar itu dikeluarkan dari sekolah tersebut bersamaan dengan penerimaan rapor pada bulan Januari 2025. Dalam rapot itu, dilampiri surat pengunduran diri dari sekolah yang bersifat sepihak.
“Keputusan untuk Men-Drop Out anak adalah kebijakan yang sangat merugikan. Persoalannya, ketika anak senakal itu dikeluarkan dari sekolah, sekolah mana yang akan menerima mereka,” ujar Trimo, saat dihubungi, Sabtu (22/2/2025) siang.
Menurut Trimo, para pelaku seharusnya tidak perlu sampai mendapat sanksi dikeluarkan dari sekolah. Sebab, sanksi itu bisa memancing masalah baru, yaitu mereka kesulitan diterima di sekolah lain.
Dia menjelaskan jika anak-anak itu tidak bisa lagi diterima disekolah manapun maka akan berhimpun siswa bermasalah. “Jika seluruh siswa bermasalah berhimpun maka geng macam apa yang akan mereka bangun,” katanya.
Ia pun melihat persoalan ini dengan perspektif dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam aturan itu, anak-anak yang tersandung masalah tetap diperlakukan sebagai korban.
Jika mengacu pada aturan itu, dia menjelaskan, maka pemerintah wajib memberikan perlindungan bagi anak-anak yang melakukan perundungan. Mulai dari melindungi identitas anak-anak hingga memikirkan solusi bagi masa depan mereka.
Trimo juga menyatakan para pelaku yang masih berusia anak-anak juga punya masa depan. Dengan demikian, mereka punya kepentingan yang harus dilindungi ketika beranjak dewasa, sekolah tugasnya membina anak yang nakal menjadi baik.
“Kalau anak-anak itu dikeluarkan, kepentingan jangka panjang seperti apakah yang sesungguhnya sudah dipertimbangkan oleh pihak sekolah terkait dengan anak-anak ini. Tidak ada kan? Intinya DO (dikeluarkan) ini bukan solusi yang baik,” ujar dia.
Menurut dia, merujuk UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 menegaskan setia warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan bagian hak asasi manusia (HAM). Artinya, tidak ada seorang pun bahkan negara dapat merampas hak pendidikan, apalagi sekolah.
“Sekolah tidak punya alasan sampai mengeluarkan siswa dengan dasar tata tertib sekolah. Karena diatas aturan tata tertib masih ada Undang-Undang yang mengatur masalah itu. Kami akan melaporkan kasus ini ke Ombudsman sebagai pelanggaran,” tandasnya.
Salah satu orang tua siswa, Adi Prasetyo Utomo menyatakan, bahwa anaknya tidak merupakan pelaku dalam perundungan disekolah tersebut. Pihaknya menyebut anaknya hanya ikut-ikutan saat temanya mengajak minum miras disekolah.
“Kronologi awal peristiwa ini yaitu saat ada turnamen olah raga antar sekolah. Pada saat itu anak saya dan empat temannya membeli minuman keras, kemudian diminum bersama-sama dilingkungan sekolah. Nah, ada lemparan batu yang menyulut keramaian,” terangnya.
Ia mengaku kaget saat mengambil rapor anaknya, pihak sekolah langsung menyodori surat pernyataan pengunduran diri dari sekolah. Adi merasa pihak sekolah tidak memberi kesempatan dan solusi, yang intinya anaknya tetap dikeluarkan.
Akibat dikeluarkan dari sekolah itu, kata Adi, saat ini anaknya hanya dirumah dan sering menyendiri. Sudah sebanyak 4 kali mendaftar disekolah swasta, namun tetap ditolak. Ia berharap pemerintah memperhatikan nasib anaknya agar bisa tetap belajar.
(Madi)