Jakarta, faktapers.id – Awal tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) akan kembali membahas Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam daftar Proyek Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 dimana salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) , Bintang Puspayoga menyatakan pengesahan RUU PKS ini tidak dapat ditunda lagi mengingat kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat di berbagai daerah. Dari data pelaporan yang masuk dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) Kemen PPPA selama tahun 2020 tercatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 korban.
“Pengesahan RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi, mengingat urgensinya yang sangat besar, karena kekerasan seksual tidak hanya memberikan dampak kepada korban saja, tetapi juga berdampak pada pola pikir masyarakat secara luas. Kita juga harus bisa melindungi generasi selanjutnya dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar menghapuskan kekerasan seksual,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga pada webinar dengan tema “Memperkuat Sinergi Nahdliyin Mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Sosialisasi RUU PKS dan Konsolidasi Gerakan Badan/Lembaga Otonom NU)” yang diadakan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, Kamis (14/01).
Menteri Bintang juga menegaskan bahwa pembahasan RUU PKS mulai dari konsep, naskah akademik hingga tercapai kesepakatan dalam bentuk RUU memang sudah melalui proses yang sangat panjang. Maka dari itu, RUU PKS ini harus segera disahkan.
Pengesahan RUU PKS menurut Menteri Bintang juga merupakan bentuk komitmen dan perwujudan mandat dari Pancasila dan UUD 1945 serta bentuk keprihatinan yang tinggi terhadap jumlah perempuan korban kekerasan yang terus meningkat serta didorong oleh isu penghapusan kekerasan seksual yang terus bergulir di masyarakat. Disamping itu, RUU PKS ini diharapkan dapat mengisi celah kekosongan hukum mulai dari upaya pencegahan, hingga penanganan dan rehabilitasi yang berperspektif korban dan memberikan efek jera pada pelaku.
Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Vennetia Danes menyatakan RUU PKS ini diharapkan bisa menjadi terobosan hukum yang mengakomodir seluruh kepentingan dan kebutuhan perempuan korban kekerasan. Venetia menjelaskan bahwa saat ini RUU PKS sudah berada pada nomor urut ke-18 sebagai inisiatif DPR dalam daftar Prolegnas 2021.
Perjalanan panjang RUU PKS diakui oleh Fatayat NU sangat panjang dan melelahkan tetapi tetap harus kuat diperjuangkan karena banyak dukungan.
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Advokasi Fatayat NU Wahidah Suaib mengingatkan kembali bahwa paska Juli 2020, saat RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas, protes publik sangat marak terutama protes yang disampaikan oleh kelompok-kelompok yang selama ini memang sangat intens mengawal RUU ini. “Empat tahun (2016-2019) RUU PKS di DPR, jangankan pengesahan, definisi kekerasan seksual dan sistematika RUU PKS saja belum berhasil disepakati.
Ini merupakan refleksi yang mesti menjadi evaluasi bersama agar hal tersebut tidak terjadi lagi pada DPR periode yang akan datang. Kami siap untuk mendukung agar RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021,”ungkap Wahidah.
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor juga sependapat bahwa pengesahan RUU PKS ini tidak bisa ditunda lagi mengingat dampak psikologis dan stigma yang diderita korban kekerasan.
“ Para korban kekerasan menanggung dampak psikologis dan stigma negatif dari masyarakat. Selain itu korban bisa saja tidak dapat pulih secara optimal sehingga tidak akan bisa berperan aktif dalam pembangunan nasional. Kalau kita lihat lagi bagaimana capaian pembangunan nasional dengan menggunakan indicator SDG’s, ini juga bisa dipastikan bahwa dengan tingginya angka kekerasan seksual dapat mengakibatkan target SDG’s di tahun 2030 tidak tercapai,” ungkap Maria.
Sementara itu, Asni Samanik dari LBH APIK menyoroti urgensi pengesahan RUU PKS ini dari sudut pandang hukum pidana. Menurutnya, selama ini banyak kasus kekerasan yang menyasar perempuan sebagai korban yang tidak dapat dilanjutkan atau diproses kasusnya akibat belum diakomodirnya semua bentuk dan jenis kasus kekerasan pada perempuan dalam aturan hukum di Indonesia.
“Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal dua jenis kekerasan saja, yakni perkosaan dan perbuatan cabul dan tidak dikenal istilah pelecehan seksual. Hal ini berlaku sampai sekarang. Selain itu, pada UU Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU TPPO) hanya terdapat kata-kata eksploitasi seksual. Di KUHP tidak ada kata-kata bentuk kekerasan seksual itu,” jelas Asni.
Menteri Bintang menganggap saat ini adalah momentum yang tepat untuk disahkannya RUU PKS ini di DPR. Tidak jelasnya tindak lanjut penanganan untuk para korban, serta masih kurangnya aturan yang ada untuk menghukum segala bentuk kekerasan pada perempuan, akan menjadi ancaman nyata bagi segala upaya untuk menghapus segala bentuk kekerasan pada siapapun.
“Saat ini, ribuan korban masih menunggu keadilan yang tidak mereka dapatkan karena masih adanya celah dalam peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya. Tanpa sistem pencegahan yang holistik, kelompok rentan lainnya, terutama perempuan dan anak, saat ini sedang terancam masa depannya karena sangat rawan menjadi korban selanjutnya.
Untuk itu, RUU PKS harus segera disahkan untuk menutup dan menyempurnakan celah-celah ini, sehingga kita dapat melindungi bangsa kita dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, rehabilitasi yang benar-benar dapat menghapuskan kekerasan seksual,” tutup Menteri Bintang. Her