Jakarta, faktapers.id — Di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap kebijakan negara dalam penulisan ulang sejarah nasional, sejumlah kalangan menyuarakan kekhawatiran bahwa pemerintah tengah melakukan upaya sistematis untuk “memutihkan” sejarah Indonesia. Upaya ini dinilai mengabaikan fakta kekerasan struktural dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu, khususnya pada era Orde Baru.
Salah satu kontroversi yang mencuat adalah pengusulan gelar pahlawan nasional untuk mantan Presiden Soeharto. Pemerintahannya selama lebih dari tiga dekade tercatat oleh berbagai lembaga nasional dan internasional sebagai masa yang dipenuhi oleh pembantaian massal, penghilangan paksa aktivis, serta represi terhadap gerakan rakyat. Meski demikian, narasi resmi negara cenderung menonjolkan keberhasilan ekonomi dan stabilitas politik, seraya menutupi sisi kelam dari masa tersebut.
Lebih lanjut, pemerintah juga memilih pendekatan penyelesaian non-yudisial terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, tanpa membawa para pelaku ke meja hijau. Pendekatan ini dianggap menegasikan keadilan bagi para korban dan keluarganya. “Penulisan ulang sejarah berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan memperkuat impunitas,” ujar salah satu aktivis HAM yang turut hadir dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Eksploitasi Lingkungan Terus Berlanjut di Tengah Peringatan Hari Lingkungan Hidup
Ironisnya, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada hari ini justru dibayang-bayangi oleh maraknya praktik eksploitasi sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia. Dengan dalih pembangunan dan investasi, proyek-proyek besar terus diberi karpet merah, sementara masyarakat adat dan petani yang mempertahankan ruang hidup mereka kerap menjadi sasaran kriminalisasi dan intimidasi.
Pemerintah dinilai memperkuat kontrol politik atas sumber daya alam dengan mengizinkan organisasi massa keagamaan untuk mengelola tambang dan membuka ruang lebar bagi korporasi ekstraktif. Akibatnya, ketimpangan ekologis dan sosial semakin memburuk. Meski hukum formal menyebutkan perlindungan terhadap pembela lingkungan, kenyataannya justru mereka yang menyuarakan kritik menjadi korban persekusi, sementara perusak lingkungan mendapat perlindungan.
“Kami melihat bagaimana hukum digunakan secara tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang terstruktur,” ujar seorang pembela lingkungan dari Kalimantan yang turut memberikan kesaksian dalam unjuk rasa.
Aksi Kamisan Tetap Konsisten Menuntut Keadilan
Di tengah situasi tersebut, Aksi Kamisan yang rutin digelar setiap hari Kamis di depan Istana tetap menjadi ruang konsistensi perlawanan dan pengingat terhadap janji negara yang belum ditepati. Seruan seperti “Hidup korban!”, “Jangan diam!”, dan “Lawan!” menggema sebagai penanda bahwa perjuangan belum usai.
Para peserta Aksi Kamisan menyerukan agar negara tidak menjadikan sejarah sebagai alat kekuasaan, dan menuntut penegakan hukum serta keadilan yang sejati bagi para korban pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan.
[]