Jakarta, faktapers.id – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Sodik Mujahid menegaskan, karena pihak yang pro dan kontra seimbang penundaan pengesahan Undang-undang (UU) adalah jalan terbaik.
“Saya kira kita semua, rakyat Indonesia terutama wakil rakyatnya harus lebih mendewasakan, mematangkan diri kita di dalam proses legislasi,” ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi bertema “Revisi Prolegnas Tingkatkan Kinerja Legislasi DPR?,” di Media Center/Pressroom, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7).
Sodik pun mengaku sependapat dengan pimpinan DPR yang dulu, Fahri Hamzah yang menyatakan DPR bukan industri, sehingga tidak bisa diukur produktifitasnya dengan jumlah. “Sebagai contoh, sebuah Undang-undang yang sempat ramai, UU PKS misalnya. Itu kan yang kontra dan yang mendukung sama banyaknya,” ungkapnya.
Dalam kasus seperti itu, Sodik berendapat, penundaan adalah langkah yang terbaik, kenapa, karena undang-undang diadakan untuk mengakomodasi partisipasi dan untuk memberikan manfaat kepada seluruh bangsa.
“Jadi, hal semacam itu yang harus kita perbaiki, termasuk yang jumlah tadi. Kalau jujur ada komisi-komisi, yang membuat Undang-undang, kenapa? Karena memang di Undang-undang kan ada segala macam konsekuensinya,” kata legislator dari Fraksi Gerindra itu lagi.
Menurut Sodik pendekatan kualitatif yang terbaik kembali kepada prinsip good governance, yang pertama adalah sejauh mana melibatkan partisipasi masyarakat. “Bisa jadi badan kajian atau BKD munkin harus diperluas kewenangannya,” harapnya.
Untuk menseleksi sejauh mana urgensi dari UU, sambung Sodik lakukan kajian akademik. “Tapi saya kira yang perlu lagi adalah urgensi kebutuhan dari undang-undang. Bisa saja dari Kualitas kita harus gunakan prinsip good governance, satu adalah partisipasi, yang kedua adalah prosedur hukumnya,” serunya.
Yang tidak kalah pentingnya, lanjut Sodik adalah akuntabilitasnya. Jangan sampai nanti DPR membuat UU yang banyak dan dipuji sebagai lembaga yang produktif, ternyata nanti kalah di mahkamah konstitusi (MK).
“Ada empat hal yang perlu kita galakkan lagi, sebagai kedewasaan kita, prinsip-prinsip good governance, partisipasi, akuntabilitas , prosedur hukumnya, itu harus kita matangkan. Dan kita tidak usah berbangga, bersemangat dengan banyaknya RUU,” cetusnya.
Kemudian, kata Sodik yang kedua adalah selain kualitas atau kuantitatifnya juga diperbaiki lagi tentang hak fraksi, tentang hak anggota, hak komisi itu juga harus dikaji lagi.
“Daripada kita punya RUU katakanlah 50 tapi hasilnya 10, kan berarti hanya 20 persen, tapi dengan kajian yang mendalam, maka akan di berujung akhirnya sebutkan 100 persen,” tambahnya. (OSS)