Jakarta, faktapers.id – Selain tak konsisten mengawal implementasi Undang-undang Otonomi Khusus, seakan membiarkan daerah berjalan sendiri, pemerintah pusat juga tak memberikan kewenangan dari aspek pembangunan. Demikian anggota DPR RI, Yan Mandenas mengungkapkan.
“Kalau kita bicara konteks sosial-politik, sebenarnya bisa berjalan dan intensitasnya bisa kita tekan apabila antara kewenangan, kemudian dengan anggaran yang diberikan kepada daerah itu berkembang,” ujar legislator dari Fraksi Partai Gerindra itu pada acara Diskusi Forum Legislasi bertema “Bagaimana Masa Depan Otonomi Khusus?” di Media Center/Pressroom, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/7).
Tetapi faktanya, sambung Mandenas, hari ini Papua diberikan anggaran secara signifikan untuk pembangunan dari berbagai macam aspek yang diamanatkan dalam implementasi Undang-undang 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat .
“Dari konteks itu memang sampai dengan hari ini duit diberikan kewenangan yang tidak diberikan dengan pool. Kemudian kewenangannya pun juga tidak didukung dengan regulasi. Sehingga dari aspek itu memang sangat jauh dari harapan. Kesimpulannya, kalau kita lihat kontak sosial-politik, maka pemerintah pusat tidak konsisten dalam mengawal pelaksanaan implementasi UU Otsus,”
tegasnya.
Menurut Mandenas, daerah seakan-akan dibiarkan berjalan sendiri tanpa arah dan tujuan yang jelas, sesuai dengan target. Tidak ada pembagian kewenangan dari aspek pembangunan, yang mana menjadi prioritas daerah provinsi, yang mana yang menjadi prioritas kabupaten, dan mana yang menjadi prioritas dari pusat tidak jelas dari tataran Otsus selama pelaksanaan selama kurang lebih 25 tahun sampai dengan hari ini,” urainya.
Kemudian, lanjut Mandenas, dari konteks hukum, setelah implementasi Otonomi Khusus itu berlaku hanya dikeluarkan PP 54 untuk pembentukan Majelis Rakyat Papua, sedangkan aturan peralihan sebagai aturan teknis dari implementasi UU Otsus, yang melakukan breakdown pasal-pasal secara teknis pelaksanaan tidak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah oleh Kementrian Dalam Negeri.
“Salah satu tantangan dan hambatan selama pelaksananaan Otsus sampai 20 tahun berjalan. Kalau kita bicara lagi soal regulasi, daerah berusaha untuk menggenjot, memproteksi hak dan martabat orang asli Papua dengan mengelurakan Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus),” papar wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Papua itu.
Tetapi, lanjut Mandenas, selama dirinya 10 tahun menjabat di provinsi Perdasi dan Perdasus yang sudah dikeluarkan sampai di Kemendagri mentok, karena tidak sesuai dengan aturan yang lebih tinggi. “Padahal secara sah sebenarnya itu bisa dilaksanakan, tetapi karena tidak sinkron dengan aturan lain, maka Perdasi dan Perdasus tidak bisa dilaksanakan dan tidak bisa diregistrasi oleh Kemendagri,” ungkapnya.
Sehingga, kata Mandenas lagi, kemudian Perdasus yang mengatur dan memproteksi secara khusus hak dasar orang asli Papua, kemudian PP yang mengatur secara garis besar dengan berbagai kebijakan dalam implementasi pasal-perpasal di dalam UU Otsus tidak bisa dilakukan dengan konsisten. (OSS)