Jakarta, faktapers.id – DPR dan sejumlah organisasi bersepekat agar klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) dikoreksi dan diperbaiki. Terkait hal ini Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) kemukakan apresiasinya.
“Beberapa kesepakatan yang mengakomodasi koreksi dan kepentingan buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Pekerja Indonesia (KSPI) itu perlu diapresiasi. Dan DPR juga harus konsekuen melaksanakan kesepakatan itu, dengan memasukkannya ke dalam aturan perundangan,” ujarnya di Jakarta, Senin (24/8).
Selain itu, sambung HNW, demi kemaslahatan semuanya, DPR juga perlu mendengarkan dan mengakomodasi banyak kritik dan penolakan dari sejumlah elemen bangsa lainnya, seperti yang disampaikan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia dan lain sebagainya.
Menurut HNW, persoalan yang ada dalam RUU Ciptaker tersebut bukan hanya ketentuan yang ada dalam klaster ketenagakerajaan, melainkan ada banyak substansi yang bermasalah dan menimbulkan penolakan dari berbagai elemen bangsa, seperti masalah Pers, Jaminan Produk Halal, Lingkungan Hidup, Pendidikan, Hubungan Pusat dengan Daerah.
Politisi PKS ini pun menyebutkan, dari sudut konstitusi dan hirarki perundangan salah satu yang bermasalah secara mendasar dan belum ada perbaikan hingga saat ini adalah Pasal 170 RUU Ciptaker yang memberi kewenangan berlebih kepada Pemerintah, dengan melegalkan ketentuan yang tak sesuai dengan UUDNRI 1945, sekaligus men-downgrade dan merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi.
“Ketentuan Pasal 170 ayat (1) yang kontroversial itu berbunyi, dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini,” paparnya.
Sambung HNW, sedangkan, Pasal 170 ayat (2) menyebutkan perubahan ketentuan dalam UU itu dilakukan melalui peraturan pemerintah (PP) dan untuk itu pada ayat (3) menyebutkan Pemerintah dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR.
“Ketentuan itu jelas-jelas tak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan peraturan pemerintah ditetapkan oleh Preside untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, bukan justru untuk mengubah undang-undang sebagaimana dalam RUU tersebut,” tegasnya.
Selain itu, lanjut HNW, dalam pembuatan atau perubahan suatu UU, bila itu inisiatif dari pemerintah, maka Pemerintah tidak cukup hanya ‘dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR ‘sebagaimana dalam RUU tersebut, melainkan ‘wajib’ membahasnya dengan DPR, bukan sekadar dengan Pimpinan DPR.
Tak hanya itu, HNW juga meminta agar DPR cermat dan tidak tergesa-gesa dalam membahas RUU inisiatif Pemerintah ini, tapi DPR juga harusnya menyelamatkan hak konstitusional DPR dalam kuasa membuat UU, dengan mengkritisi munculnya Pasal 170 RUU Ciptaker.
“Itu pasal yang sangat bermasalah, dan bertentangan dengan UUD, menumpuk kekuasaan makin dominan di eksekutif, dan potensial membajak hak konstitusional DPR dalam kuasanya membuat UU. Karenanya wajarnya DPR menolak, mengkoreksi dan mengusut tuntas,” ungkapnya.
Urai HNW lagi, awalnya pemerintah melalui menteri koordinator politik, hukum dan keamanan (menkopolhukam) menyebut isi pasal 170 itu salah ketik.
Namun, sebut HNW lagi, beberapa waktu lalu, salah seorang tim perumus RUU Ciptaker menyatakan bahwa saat disusun di pemerintah ketentuan itu bukan salah ketik, tetapi justru memang sengaja dibuat seperti itu untuk memudahkan pemerintah. Karenanya naskah RUU yang dikirim ke DPR juga tidak mengalami perbaikan pengetikan, bukti bahwa memang tidak ada salah ketik, melainkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal 170 RUU itu memang sikap dasar pemerintah.
“Jelas kalau begitu patut diduga ada unsur kesengajaan untuk mendapatkan legitimasi RUU sekalipun melanggar UUDNRI 1945. Kesengajaan melanggar UUD seperti ini mestinya tidak dibiarkan, apalagi dilegitimasi dengan persetujuan. Padahal dengan tetap mengikuti ketentuan UUD secara benar, tetap saja spirit dan terobosan Cipta Kerja tetap bisa dilakukan,” tandasnya.
Karenanya, imbuh HNW, sebagai bukti ketaatan kepada hukum dan UU, seharusnya penyimpangan seperti dalam pasal 170 itu ditolak, dikoreksi dan diusut tuntas. “Bahkan, bila perlu risalah pembahasan ketika di internal pemerintah agar dibuka ke publik, untuk memastikan apakah benar-benar ada unsur kesengajaan itu, dan apa motifnya?” serunya.
Jelas HNW hal itu ntuk memastikan bahwa terobosan untuk cipta kerja dan investasi justru perlu bersesuaian dengan aturan perundangan, tidak malah membuat celah pelanggaran, apalagi yang mendasar seperti dalam pasal 170 itu. OSS