Headline

Ini Analisis Ekonom, Skenario Dampak Ekonomi RI saat PPKM Mikro Ketat vs Lockdown

193
×

Ini Analisis Ekonom, Skenario Dampak Ekonomi RI saat PPKM Mikro Ketat vs Lockdown

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Faktapers.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk memperketat kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro mulai 22 Juni sampai 5 Juli 2021. Kebijakan ini diambil untuk menghadapi lonjakan kasus positif virus corona atau covid-19 dalam beberapa hari terakhir.

Kendati begitu, desakan dari sejumlah pihak agar pemerintah langsung mengambil kebijakan penguncian wilayah (lockdown) atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tetap menggema. Desakan muncul karena lonjakan kasus mencetak rekor tertinggi, namun kemampuan fasilitas dan layanan rumah sakit semakin terbatas.

Lalu, apa dampak ekonomi dari PPKM Mikro Ketat?

Bagaimana pula dampak bila skenario lockdown diterapkan di Indonesia?

Menurut Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, dampak ekonomi dari PPKM Mikro Ketat tentu tidak seburuk lockdown atau PSBB. Mengapa?

Pertama, aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat tidak benar-benar ‘mati’, namun hanya dikurangi saja. Misalnya, pekerja yang bekerja dari rumah (work from home/WFH) naik dari 50 persen menjadi 75 persen.

Artinya, masih ada 25 persen yang boleh ke kantor. Mereka masih bisa naik transportasi umum atau kendaraan online hingga kendaraan pribadi. Jadi setidaknya masih ada konsumsi dari kalangan pekerja meski minim.

Bahkan, pekerja di sektor esensial, seperti industri pelayanan dasar, utilitas publik, kebutuhan pokok masyarakat, semuanya masih bisa bekerja 100 persen, meski dengan catatan protokol kesehatan yang lebih ketat.

Masyarakat juga masih bisa pergi ke pusat perbelanjaan atau mal meski cuma sampai pukul 20.00 WIB. Kunjungan ke restoran pun dapat dilakukan dengan 25 persen dari total kapasitas.

“Kalau PPKM Mikro Ketat dampaknya tidak besar, meski tetap ada, tapi perlambatan ekonominya relatif lebih kecil daripada lockdown regional. Apalagi yang diperketat cuma di 10 ruas jalan utama, ya tidak berpengaruh, aktivitas ekonomi masih bisa berjalan,” ungkap Tauhid kepada CNNIndonesia.com.

Kedua, beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga tidak terlalu bertambah berat dan masih relatif bisa menopang perekonomian, meski pemerintah mungkin harus menambah beberapa bantuan sosial (bansos) dan insentif.

Kendati begitu, ia belum bisa memperkirakan berapa kira-kira tambahan beban APBN untuk menopang ekonomi saat PPKM Mikro Ketat.

“Makanya kenapa PPKM Mikro Ketat yang dipilih? Ya karena cost APBN-nya paling kecil juga daripada lockdown regional atau bahkan nasional. Ekonomi juga masih jalan, meski tidak ada garansi kasus bisa cepat pulih seperti level rendah 4.000-an dulu,” ucapnya.

Dampak Lockdown

Skenario dampak ekonomi ini, katanya, berbeda jika pemerintah justru tiba-tiba mengubah kebijakan jadi lockdown. Taruhlah, pemerintah hanya menerapkan lockdown regional di beberapa daerah yang sangat tinggi lonjakan kasusnya, seperti DKI Jakarta dan kota sekitarnya.

“Ini dampaknya pasti luar biasa ke ekonomi, karena Jabodetabek saja peranannya sudah 17 persen ke PDB nasional. Jadi meski cuma Jabodetabek yang lockdown, sudah langsung terasa pengaruhnya, karena sudah ibu kota, pusat bisnis, pusat belanja juga,” jelasnya.

Dampak ekonominya bakal semakin berat karena pemerintah mesti menambah bansos dan insentif yang lebih besar lagi. Misal, lockdown dua minggu, maka setidaknya perlu tambahan anggaran untuk menanggung ‘makan’ masyarakat untuk dua minggu juga.

Hal ini, sambungnya, sudah pasti membuat beban APBN melonjak drastis. Bahkan, tak cuma APBN yang tertekan, tapi APBD juga. Pasalnya, ada belanja-belanja untuk masyarakat yang perlu ditanggung oleh pemerintah daerah setempatnya.

“Meski kalau bicara APBD kemampuannya berbeda-beda, misal DKI mungkin punya kemampuan, tapi belum tentu daerah lain juga, begitu juga dengan nasional (APBN),” ujarnya.

Bila lockdown yang dipilih, menurut Tauhid, realokasi anggaran besar-besar sudah pasti harus dilakukan. Proyek-proyek infrastruktur yang bisa ditahan, juga harus segera dihentikan agar dananya bisa dipakai lebih dulu untuk menopang ekonomi.

Sementara jika cuma PPKM Mikro Ketat, mungkin dampak realokasi tidak besar-besaran. Sebab, pemerintah hanya perlu menggeser beberapa anggaran saja yang notabenenya tidak begitu besar.

“Realokasi anggaran ini yang paling memungkinkan, karena kalau tambah utang lagi sudah tidak mungkin, agak berat, apalagi 2023 nanti defisit harus kembali ke 3 persen (dari PDB), di 2022 saja sudah harus mulai turun ke 4 persen, jadi kuncinya hanya bertahan dengan anggaran yang ada sebisa mungkin,” tuturnya.

Senada, Ekonom sekaligus Founder Narasi Institute Fadhil Hasan juga berpandangan sama. Menurutnya, anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) senilai Rp699,43 triliun sudah pasti harus ditambah, entah saat PPKM Mikro Ketat atau lockdown diberlakukan.

Tapi, penambahan anggaran PEN saat PPKM Mikro Ketat tidak akan sebesar jika kebijakan lockdown yang diambil. Kendati begitu, ia belum bisa memperkirakan kebutuhan dana PEN tambahan untuk masing-masing kebijakan.

“Besaran dana PEN ini juga bergantung dengan seberapa lama kebijakan ini berlangsung, lonjakan kasusnya berlangsung, misal kalau dua minggu saja cukup atau ternyata butuh sebulan terus begini kebijakannya, meski saya berapa besarannya belum tahu,” kata Fadhil.

Dampak lanjutannya, kata Fadhil, sudah pasti utang akan semakin menumpuk. Sebab, kedua kebijakan pada dasarnya sama-sama membuat sumbangan penerimaan pajak bisa semakin lemah.

Alhasil, pemerintah harus mencari sumber lain untuk menutup kebutuhan dan itu merupakan utang. Hanya saja, utang ini, menurutnya, bisa dikecilkan risikonya dengan menambah utang melalui Bank Indonesia (BI), bukan lembaga ekonomi dan keuangan internasional.

“BI kan bersedia jadi standby buyer dan sudah sepakat dengan pemerintah, ya untuk kondisi seperti ini tentu pemerintah lebih bisa andalkan BI lewat SBN yang dijual ke BI daripada sumber lain,” terangnya.

Sementara untuk dampak terhadap ekonomi, jika Indonesia menerapkan PPKM Mikro Ketat, kemungkinan pertumbuhan ekonomi cuma berkurang sedikit dibandingkan kebijakan lockdown.

Ia pun berkaca pada kondisi Indonesia saat kuartal I 2020 atau awal pandemi muncul di tanah air. Kala itu, ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 2,97 persen dari sebelumnya 5 persen pada kuartal I 2019.

Tapi, kalau lockdown yang diambil, maka kondisinya bisa berkaca pada ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020, yaitu minus 5,32 persen.

“Jadi kalau PSBB (lockdown), pasti dampak secara ekonomi sangat signifikan, meski kalau mau lebih efektif ya lockdown sekalian, tapi konsekuensinya sangat memberatkan ekonomi karena pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok untuk masyarakat,” ungkapnya. []
.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *