Jakarta, faktapers.id – Perdagangan bisnis jual beli organ manusia di Indonesia untuk keperluan transplantasi semakin meningkat. Meski Undang-Undang Kesehatan melarang praktik tersebut, faktanya, semakin banyak orang yang berani mengiklankan dirinya untuk menjual organnya dengan berbagai alasan.
Jumlah pasien gagal ginjal meningkat tiap tahunnya. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang pasien ginjal yang sudah melakukan dialisis (cuci darah) rutin di Indonesia.
Tentunya, tindak kejahatan bisnis jual beli organ untuk tindakan transplantasi semakin merajalela di media sosial. Kenapa? Karena transplantasi menjadi pilihan ideal untuk menghasilkan rehabilitasi yang baik bagi si pasien. Mereka bisa hidup nomal layaknya orang sehat, tanpa harus cuci darah seumur hidupnya. Sayangnya, belum ada pengaturan yang terperinci tentang cara mendapatkan organ untuk ditransplantasikan.
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa tentang transplantasi organ dan atau jaringan tubuh dari pendonor hidup untuk orang lain. Dalam fatwa tersebut dikatakan transplantasi organ diperbolehkan jika bersifat untuk tolong menolong, tidak untuk komersial.
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) pun menyanyangkan bila sampai hari ini di Indonesia tidak ada payung hukum dalam menjalankan tindakan transplantasi organ, termasuk transplantasi ginjal.
“Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tidak secara rinci mengatur tindakan transplantasi organ. Padahal, didalam Pasal 65 Ayat 3 UU tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) mengenai syarat dan tata cara yang jelas. Dengan adanya PP yang dimaksud, tindakan transplantasi organ akan diatur secara komprehesif,” ungkap Tony Samosir Ketua Umum KPCDI melalui pernyataan sikap yang dikirim kepada media, Kamis (4/7/19).
Lebih lanjut, Tony Samosir mengatakan tiadanya payung hukum menyebabkan para pasien cuci darah mengalami kesulitan untuk memperoleh kesempatan melakukan transplantasi ginjal (dan organ lainnya), mereka yang sehat dan ingin mendonasikan organnya dengan sukarela, tidak tahu harus kemana.
“Di Indonesia belum ada bank donor termasuk melegalisasi donor hidup dan mati (cadaver). Kalau hanya mengandalkan donor hidup, akan sedikit pasien gagal ginjal yang mempunyai kesempatan transplantasi ginjal. Sedangkan donor mati bisa menjadi pilihan karena tingginya angka kematian yang disebabkan oleh trauma, kecelakaan dan bencana alam di Indonesia,” tegasnya.
Selain itu, ia mengungkapkan, Pemerintah juga harus menjelaskan definisi “tujuan komersial” secara rinci seperti yang ditegaskan UU itu.
“Jangan sampai orang memberikan air mineral pun sebagai tanda terima kasih langsung kena dipidana. Jadi, UU tersebut tidak menjelaskan lebih rinci tentang apa yang dimaksud organ tubuh manusia dan cara mendapatkannya,” sesalnya.
Tony Samosir, yang sudah melakukan cangkok ginjal ini, menyanyangkan di Pemerintah SBY dan Jokowi tidak menjalankan amanat UU Kesehatan ini.
“Kami juga mengkritik DPR RI, khususnya Komisi IX yang telah gagal mengawasi Pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana UU. UU Kesehatan tentang transplantasi sudah ada sejak tahun 1992 dan diperbaharui tahun 2009. Sudah sembilan tahun sejak UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang transplantasi organ ditetapkan, namun, sampai saat ini belum ada PP yang mengatur transplantasi organ tersebut,” kecam Tony Samosir.
KPCDI sebagai sebuah organisasi yang anggotanya paling banyak pasien cuci ini berharap, melalui PP tersebut berdiri Lembaga Donor Organ.
“Lembaga ini yang nantinya mengatur penyelenggaraan transplantasi organ, termasuk ginjal. Dengan lembaga ini dibentuk akan semakin banyak jumlah donor. Lembaga ini yang nantinya akan dapat mengatasi persoalan jual beli organ. Dan akan memberi kesempatan luas bagi pasien miskin untuk mendapatkan kesempatan transplantasi organ,” pungkasnya. Ddr