Headline

Guru – Siswa Rindu Bertemu

1763
×

Guru – Siswa Rindu Bertemu

Sebarkan artikel ini

Oleh: I Nyoman Tingkat*

Badung – Bali, Faktapers.id – Pada 16 Agustus 2020, sehari menjelang 75 Tahun Indonesia Merdeka, genap 5 bulan para siswa belajar dari rumah (BDR), waktu yang cukup lama jika lama, dan selama itu pula banyak menimbulkan beragam celoteh didunia nyata maupun maya.

Berbagai respon terkait BDR dilontarkan, baik oleh siswa, orangtua, maupun guru. Para siswa menyatakan BDR terasa hambar walaupun tersedia jaringan wifi dan smartphone, bagi yang punya. Akan tetapi, bagi mereka yang terhambat karena jaringan, kuota, HP bahkan makan sehari-haripun sulit sebagaimana diakui sejumlah anak di berbagai belahan negeri ini. Mirisnya lagi, banyak kejadian yang membuat kita terenyuh, seperti kejadian seorang bapak mencuri laptop demi memenuhi kebutuhan anaknya, agar bisa belajar.

Mereka juga punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, sebagaimana dikeluhkan seorang siswa SMA di Jakarta melalui zoom dan viral. Mereka merasa kehilangan hubungan humanis dengan guru. “Soal belajar Daring, katanya kurang efektif daripada tatap muka. Kalau belajar hanya untuk pinter, Google lebih pinter”, kata siswa tersebut.

Benar kata siswa SMA di Jakarta itu yang mengaku memiliki teman dari berbagai daerah di Indonesia karena sering mengikuti lomba-lomba tingkat nasional. BRD meniadakan hubungan kemanusiaan guru-murid.
Gelak tawa, sedih, gembira, suka, duka dalam pembelajaran tatap muka di kelas dirasakan sebagai bumbu penyedap dalam mendewasakan diri tidak terjadi dalam pembelajaran daring. Menikmati waktu rehat sambil ngumpul menikmati makanan di kantin sekolah yang penuh dengan rasa kekeluargaan sudah tidak ada lagi.

Singkatnya, guru tak tergantikan oleh kecanggihan alat teknologi informasi apa pun. Orangtua juga merasa kelabakan mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Alasannya, karena orangtua sebagai pilar ekonomi keluarga juga harus bekerja dari rumah untuk menafkahi keluarga termasuk menjamin kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan anak-anaknya. Keluhan banyak orangtua merasakan beratnya tugas sebagai guru rupaka, pengganti guru pengajian di rumah. Seyogyanya pengalaman orangtua itu dijadikan jembatan untuk menumbuhkan kesadaran membangun empati terhadap guru di sekolah.

Guru di sekolah juga sudah lama merasa kesepian dengan pandemik berkepanjangan ini.

Sejumlah guru yang saya temui mengakui ada rasa rindu untuk bertemu, berkomunikasi tatap muka dengan siswa. Melalui tatap muka guru – siswa, mereka dapat saling tatap merasakan aura masing-masing. Hubungan komunikasi kemanusiaan dalam tatap muka bisa muncul dalam berbagai bentuk : ekspresi, gesture tubuh, komunikasi lisan, dan respon spontan antara guru-murid dan murid-murid, serta respon terhadap suasana kelas, yang tak mungkin terjadi dalam pembelajaran daring.

Secara implisit Mendikbud Nadiem Makarim juga ingin menjembati kerinduan guru-murid dengan pembukaan sekolah di darah zona kuning. Mendikbud Nadiem Makarim khawatir bila daring dilanjutkan bisa menimbulkan ancaman putus sekolah, penurunan hasil belajar bahkan resiko learning loss, kekerasan pada anak tanpa deteksi, dan risiko eksternal terjadinya pernikahan dini.

Oleh karena itulah, pada 7 Agustus 2020 dikeluarkan Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 oleh Mendikbud Nadiem Makarim dengan dua prinsif utama. Pertama, kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat. Kedua, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial dalam pemenuhan layanan pendidikan masa pandemic.

Dengan alasan itu, Mendikbud juga memberikan pelonggaran pembukaan sekolah di daerah zona kuning, yang sebelumnya hanya untuk daerah di zona hijau. Walaupun demikian, Mendikbud mensyaratkan pembukaan sekolah secara tatap muka dengan protocol kesehatan yang ketat dan wajib disetujui oleh Pemkab, Kanwil Agama, Satuan Pendidikan, dan orangtua siswa melalui Komite Sekolah.

Bila salah satu dari komponen itu tidak setuju pembukaan sekolah, maka peserta didik melanjutkan pembelajaran dari rumah secara penuh. Pembukaan sekolah rencananya dilakukan secara bertahap dengan isi kelas maksimal 50 % dari jumlah isi kelas secara ideal, sehingga tetap bisa menjaga jarak, selain wajib bermasker, cek suhu, cuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan selalu menyiapkan hand sanitizer.

Dalam kebijakan itu juga disebutkan, rentang waktu dua bulan sejak Juli 2020 adalah masa transisi sehingga kemungkinan sekolah di zona kuning akan dimulai awal September 2020, dimulai dari jenjang SMA/SMK, kemudian SMP, SD, dan terkhir TK/PAUD. Dengan skenario itu, siswa TK/PAUD dan SD nyaris setahun BDR. Situasi tidak mengenakkan bagi mereka yang sedang bertumbuh dan berkembang.

Menyambut era baru pembelajaran tatap muka, sekolah-sekolah sudah seyogyanya menyiapkan diri secara matang untuk mengobati kerinduan guru-murid. Persiapan itu meliputi kesiapan fisik dan psikologis. Persiapan fisik antara lain sekolah wajib melakukan pengisian daftar periksa kesiapan ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan : toilet, tempat cuci tangan, disenfektan. Sekolah juga memastikan tersedianya akses layanan kesehatan (Puskesmas), menerapkan area wajib masker, memiliki thermogun, pemetaan warga satuan pendidikan dengan riwayat medis penyerta, memiliki riwayat perjalanan dari zona kuning/merah, atau kontak dengan orang terkonfirmasi positip Covid-19.

Selain itu, secara fisik juga ada kesepakatan bersama komite sekolah terkait kesiapan pembelajaran tatap muka.
Secara psikologis, kesiapan pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik perlu diyakinkan bahwa mereka aman dengan protokol kesehatan yang ketat. Alodokter.com menjelaskan kondisi psikologis mencakup empat bidang, yaitu kesehatan mental, kondisi emosional, cara pikiran mengelola informasi, dan perilaku sosial manusia. Keempat kondisi itu dapat dikembangkan dan dilatih dengan melakukan meditasi cinta kasih secara teratur setiap hari.

Duduk tenang menyadari napas keluar masuk seraya berterima kasih kepada seluruh organ tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki, baik dari dalam maupun dari luar tubuh. Selanjutnya, cinta kasih dipancarkan ke seluruh penjuru arah mata angin dan seluruh alam semesta seraya berdoa secara berulang-ulang dalam hati : Semoga Semua Hidup Berbahagia.

Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, seyogyanya semua orang menebarkan aura positip di lingkungan masing-masing, termasuk berdamai dengan Covid-19. Dalam arti bahwa Covid-19 berada di jalur Covid-19 dan manusia berada di jalur manusia dengan jalannya masing-masing untuk tidak saling mengganggu. Singkatnya, Covid-19 damai dengan perike-Covid-annya, dan manusia damai dengan perikemanusiaannya. Harapannya, ketika sekolah sudah dibuka interaksi dalam proses pembelajaran terhindar dari Covid-19.

Perjumpaan guru – murid adalah interaksi saling menguatkan untuk berbagi pengalaman hidup yang bermakna dan kontekstual sekaligus obat rindu yang menyehatkan.

Di sinilah, sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah tempat menyemaikan kasih sayang. Pendidikan selalu bersemi dalam iklim kasih sayang, kata Jan Ligthart pedagog asal Belanda. Dan ketika sekolah dibuka untuk mengobati kerinduan guru – murid seyogyanya berdasarkan hubungan komunikasi dalam jalinan kasih sayang yang serasi dalam HOT (Hati, Otak, Tindakan).

Hubungan komunikasi itu dapat diringkas dengan sebait pantun : Musim kering makan mentimun, makan mentimun bersama teman. Musim gering menjaga imun, menjaga imun merawat iman.

*Kepala SMA Negeri 2 Kuta Selatan, Bali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *