Hak Perorangan dan Subyek Hak Milik Sambut Kaltim Sebagai Ibukota Baru

×

Hak Perorangan dan Subyek Hak Milik Sambut Kaltim Sebagai Ibukota Baru

Sebarkan artikel ini

Kutai Barat, faktapers.id – Hak perorangan, subyek hak milik dan terjadinya hak milik tanah adat berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960, Tentang Pokok Agraria serta peluang individualisasi Hak Kolektif/Adat menjadi Hak Personal melalui program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap) untuk menjawab kepastian hukum menyambut Kaltim sebagai Ibukota Negara Baru.

Tulisan yang sangat singkat ini memaparkan tentang hak perorangan, subyek hak milik, dan terjadinya hak milik adat berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria serta peluang individualisasi hak menjadi hak personal melalui program pendaftaran tanah sistem lengkap.

Hak perorangan ialah hak yang diberikan kepada SESEORANG atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak ulayat suatu persekutuan adat. Hak ini termasuk dalam hak ulayat, dan merupakan hak pribadi yang sangat mendasar atas lingkungan tanah dari masyarakat hukum adat, dimana seseorang menjadi anggotanya.

Hak perorangan ini bersendikan pada pada hak milik (eigendom). Karena itu perlu kami tegaskan bahwa berdasarkan undang-undang, hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga apa pun alasannya hak milik ini harus didaftarkan.

Kalau sudah mendapatkan status hak milik penuh, hak milik ini dapat dialihkan, atau diwariskan kepada ahli warisnya. (Pasal 20 UUPA), dapat juga dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo. Pasal 26 UUPA).

Nah untuk yang berjiwa bisnis, tanah milik ini dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang.

Menurut hukum, warga negara asing tidak dapat memiliki hak milik atas tanah. Hanya warga negara Indonesia yang dapat menjadi subyek hak milik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 UUPA:

(1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.

Jika sesudah angka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kcwarganegaraan Indonesia-nya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.

Nah, yang sangat penting mau kami katakan dalam ulasan singkat ini, bahwa terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang berbunyi: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena: penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini secara teknis diatur dalam Permen Agraria Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Kesimpulannya, penguasaan kita atas tanah baik perorangan dan atau pun kolektif adat haruslah didaftarkan ke Pemerintah sesuai perintah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Untuk tanah yang sifatnya perorangan, maka alas hak tertinggi adalah sertifikat hak milik (eigendom).

Karena itu, PTSL (Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap) adalah peluang terbaik untuk melegalkan tanah milik perorangan dan atau tanah waris, tanah adat yang belum mendapatkan status hukum dari Pemerintah sebagai strategi mempercepat proses birokrasi dalam individualisasi hak secara personal.

Tetapi untuk yang masih dalam bentuk kepemilikan kolektif, masih menyisakan pekerjaan lanjutan jika tidak melakukan pendekatan individualisasi, yaitu proses legalisasi melalui penelitian dan pada akhirnya bila dinyatakan ada hak adat atas territorial tersebut, baru disahkan dengan legal standing Peraturan Daerah.

Gubernur, Bupati dan Walikota se-Kalimantan bersama DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebaiknya KOMPAK MELAKUKAN kegiatan perlindungan hak masyarakat hukum adat atas tanah melalui Peraturan Daerah, demi terciptanya perlindungan dan kepastian hukum terhadap eksistensi hak masyarakat hukum adat atas tanah.

Sehingga kehadiran Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur, semakin berdampak positif dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dibaktikan pada upaya mewujudkan masyarakat Kalimantan Timur pada umumnya dan Masyarakat Adat pada khususnya yang hidupnya damai, sejahtera adil dan makmur, dan tidak justru memarginalkan mereka dari tanah-tanah mereka secara sistimatis dan struktural.

Penulis : M.M. Rudi Ranaq, S.H.,M.Si (Advokat/Lawyer, kelahiran Kampung Benung, Kecamatan Damai, Kutai Barat, Kalimantan Timur).
-Juga merupakan Mantan Wartawan dan Pemimpin Redaksi Majalah SAKUBAR (Satu Untuk Kutai Barat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *