Dasar Hukum Pemakaian Jalan Umum Untuk Pengangkutan TBS/CPO

×

Dasar Hukum Pemakaian Jalan Umum Untuk Pengangkutan TBS/CPO

Sebarkan artikel ini

Kutai Barat, faktapers.id – Di Indonesia saat ini urusan Jalan diatur sepenuhnya dalam UU No 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Secara konsepsi, penguasaan jalan seutuhnya dikuasai oleh Negara (Pasal 13) dan wewenang pengaturannya diserahkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16).

Sedangkan peran serta masyarakat diantaranya adalah memberikan masukan kepada penyelenggara jalan dalam rangka pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan (Pasal 62 ayat (1) hurup a). Lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 38 Tahun 2004 dijelaskan mengenai pengelompokan jalan, yang dikelompokan ke dalam 2 kategori, yaitu jalan umum dan jalan khusus.

Jalan khusus sesuai Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 38 Tahun 2004 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa jalan khusus adalah jalan untuk kepentingan sendiri, hal mana pedoman pengaturannya ditetapkan dengan keputusan menteri.

Keputusan menteri yang mengatur tentang jalan khusus ini baru dikeluarkan untuk jalan tambang, itu pun dikeluarkan jauh hari sebelum diberlakukannya undang-undang ini. (Baca Pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 555.K/26/M.PE/1995, yang ditetapkan tanggal 22 Mei 1995 Tentang KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PERTAMBANGAN UMUM), sedangkan keputusan menteri khusus untuk mengatur jalan khusus di bidang angkutan hasil perkebunan sampai saat ini belum pernah ada.

Sehingga dengan demikian dasar hukum kegiatan pengangkutan hasil perkebunan belum mendapatkan aturan yang lebih teknis operasional dari kementrian terkait, walaupun sekiranya sudah ada (aturan teknis berupa keputusan menteri), tentu tetap tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan dan Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini dijelaskan bahwa Negara juga bertanggungjawab sepenuhnya atas lalu lintas dan angkutan jalan, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah (Pasal 5 ayat (1).

Lebih lanjut, sesuai dengan status jalan baik jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa (Pasal 25), Pemerintah mempunyai otoritas sesuai jenjang kepemerintahannya baik dalam hal penetapan kelas jalan (Pasal 20) maupun dalam hal otoritas perijinan dan operasional lalu lintas serta angkutannya (Pasal 93-98).

Oleh karena keadaan di atas, mengingat bahwa ketentuan tersebut masih bersifat umum dan juga mempertimbangkan bahwa berdasarkan salah satu substansi Hukum Tata Negara yang menghasilkan Undang-Undang Otonomi Daerah menempatkan Pemerintah Provinsi sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (UU 22/1999, UU 32/2004 dan 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah).

Maka ada baiknya perusahaan membuka ruang terhadap kemungkinan pelaksanaan produk hukum Pemerintah Provinsi (Perda 10/2012) terkait dengan Regulasi Daerah tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini, untuk mengisi kekosongan hukum berupa keputusan menteri yang belum dikeluarkan oleh menteri terkait.

Pada tahun 2012, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menerbitkan Peraturan Daerah Nomor No 10 Tahun 2012 Tentang PENYELENGGARAAN JALAN UMUM DAN JALAN KHUSUS UNTUK KEGIATAN PENGANGKUTAN BATUBARA DAN KELAPA SAWIT. Walaupun diatur bahwa perusahaan pertambangan dan perkebunan harus menggunakan jalan khusus (Pasal 4 ayat (1)), tetapi tetap saja Peraturan Daerah ini membuka ruang bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk menggunakan jalan umum (Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)). Inti dari pasal 13 ini adalah bahwa setiap orang yang melakukan angkutan hasil pekebunan kelapa sawit wajib memiliki Izin Penggunaan Jalan Umum dari pejabat yang berwenang.

Gubernur berwenang menerbitkan Izin Penggunaan Jalan Umum untuk kegiatan pengangkutan kelapa sawit pada jalan nasional dan provinsi bagi pekebun kelapa sawit, Gubemur berwenang menerbitkan Izin penggunaan jalan umum bagi pengangkutan pekebun kelapa sawit pada jalan umum yang pergerakannya melalui dan/atau melintas batas wilayah antar Kabupaten/Kota.

Kemudian diatur juga tentang jangka waktu berlakunya Izin Penggunaan Jalan Umum adalah selama kegiatan pekebun kelapa sawit masih berlangsung dengan ketentuan harus melakukan pendaftaran ulang setiap 2 (dua) tahun sekali dan harus mengajukan perpanjangan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebelum hatas waktu berakhimya izin.

Kemudian secara teknis ditegaskan bahwa persyaratan dan tata cara untuk memperoleh Izin Penggunaan Jalan Umum serta pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud, ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Gubemur. Dalam perkembangan situasi kemudian, Gubernur Kalimantan Timur mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2013. Bahwa oleh karena sampai saat ini Peraturan Daerah ini masih berlaku efektif (tidak pernah ada pembatalan secara hukum (MA) ataupun pencabutan dari Mendagri), termasuk belum adanya jawaban dari Gubernur Kaltim atas surat GAPKI (Nov 2018), dan mempelajari selama kurun 2015-2018 telah dilakukan banyak pertemuan para pihak mengenai kompleksitas masalah lalu lintas dan angkutan TBS/CPO di Jalan Nasional, Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten yang difasilitasi oleh Pemkab Kubar baik di Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten, Kantor Bupati dan bahkan RDP di DPRD Kutai Barat.

Dan kemudian menyusul dikeluarkannya beberapa surat dan peristiwa sebagai berikut ini, yakni: 1. Surat Kadis Perhubungan Kutai Barat No 561.2/1983/LLAJ-KB/XI/2017 Tanggal 27 November 2017 Yang Ditujukan kepada perusahaan kelapa sawit yg ada di Kubar tentang Izin Penggunaan Jalan Umum. Isinya semua kendaraan TBS/CPO yang menggunakan jalan umum wajib mengurus ijin penggunaan jalan ke Pemkab Kubar, tonase muatan harus disesuaikan dengan kelas jalan, angkutan TBS/CPO yang belum berijin agar berhenti sementara, dan segera mengurus ijin penggunaan jalan umum dimaksud.

2.Surat Edaran Bupati Kutai Barat No 339/1364/Pemb-TU.P/VIII/2018 Tanggal 29 Agustus 2018 Tentang Pembatasan Angkutan Perkebunan Kelapa Sawit Yang Muatannya Melebihi Kelas Jalan.

3. Surat Kepala Dinas Perhubungan Kab Kutai Barat No 551/1710/LLAJ-KB/X/2018 Tanggal 04 Oktober 2018 Peringatan 1 Terhadap Armada Pengangkut CPO/TBS yg intinya Membatasi Muatan Sumbu Terberat 8 Ton dan Membatasi Waktu Pengangkutan Pukul 18.00-06.00, dan Pukul 21.00-06.00 (khusus dalam Kota Sendawar: Kec. Barong Tongkok, Kec. Linggang Bigung, Krc. Sekolaq Darat dan Kec. Melak).

4. Adanya Surat Bersama dari CT Agro, London Sumatera, Kruing Lestari Jaya, Borneo Persada Energi Jaya, Fangiono Agro Plantation kepada GAPKI Kaltim untuk memohon back up advokasi atas dasar Surat Kepala Dinas Perhubungan Kab Kutai Barat No 551/1710/LLAJ-KB/X/2018 Tanggal 04 Oktober 2018 tersebut.

5. Surat GAPKI kepada Gubernur pada Okt/Nov 2018, berisi permintaan kebijakan terkait dengan waktu pengangkutan TBS/CPO, agar tidak dibatasi. Sampai saat ini surat GAPKI ini BELUM/TIDAK DIJAWAB oleh Gubernur Kaltim,

6.Adanya Hearing di DPRD Provinsi Kaltim pada 12 November 2018, atas undangan RDP dari DPRD Provinsi Kaltim No. 162.44.101092/Set.DPRD Tanggal 5 November 2018 atas pengaduan Masyarakat Bentian. Isi DPRD akan mengundang GAPKI untuk rapat di DPRD yg dikoordinir oleh DisHub Provinsi, membahas draft perjanjian kerjasama perbaikan dan fungsionalisasi jalan oleh perusahaan2 yang menggunakan jalan mulai Simpang Belusuh –Perbatasan Kaltim-Kalteng didisiapkan oleh Dinas Perhubungan Kaltim dan BPJN XII.

Sampai saat ini tidak ada tindaklanjut RDP ini Bahwa atas dasar legal standing dan kondisi tersebut di atas, kami berpendapat bahwa perusahaan perkebunan mempunyai dasar yang jelas untuk mengangkut TBS/CPO menggunakan Jalan Umum.

Dan karenanya terdapat cela hukum bagi perusahaan perkebunan dalam kegiatan operasional angkutan TBS/CPO guna mendapatkan penindakan penertiban dan atau penindakan dari pejabat pemerintah yang berwewenang, manakala perusahaan perkebunan belum melandasi kegiatan pengangkutan TBS/CPO-nya berdasarkan ijin yang dikeluarkan pejabat yang berwewenang sesuai dengan hukum dan perundang-undangan di atas.

Oleh karena itu mengingat, bahwa saat ini, industrialisasi di sektor perkebunan kelapa sawit merupakan penyangga ekonomi nasional, karena berhasil menempatkan dirinya menjadi salah satu penghasil devisa Negara terbesar, kami menyarankan sekiranya masih ada perusahaan perkebunan yang belum mengajukan ijin dan mendapatkan ijin pemakaian jalan dimaksud, perusahaan dapat mengurus ijin pemakaian jalan umum untuk pengangkutan TBS/CPO tersebut kepada Pemerintah melalui Gubernur Kalimantan Timur sesuai ketentuan Pasal 13 Perda Nomor 10 Tahun 2012, dengan catatan:

Pertama, sebelumnya agar memastikan retribusi perijinannya bersifat proporsional dan prosedural sesuai regulasi, dengan catatan melakukan koordinasi dg semua jenjang pemerintahan yang bertanggung jawab atas status ruas jalan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota).

Sehingga tidak tumpang tindih perijinan; Kedua, pastikan berat total kendaraan yang beroperasi muatan ditambah kendaraan tidak melebihi berat maksimal 17 ton (lihat Buku KIR, total muatan plus kendaraan 17 ton, realitas actual MST 3-4 ton), sehingga tidak melewati batas MST (muatan sumbu terberat ) 8 ton yang disyaratkan Pemerintah untuk Ruas Jalan Kelas III untuk status Jalan Nasional, Jalan Provinsi, dan Jalan Kabupaten yang dilewati di Kabupaten Kutai Barat (Pasal 19 ayat (2) huruf c UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan);

Ketiga, setelah ijin diperoleh dan berat MST tidak dilanggar, pastikan masyarakat atau siapa pun selain instansi pemerintah yang berwewenang, tidak berhak bertindak sebagai “hakim” di jalan terhadap kendaraan pengangkutan TBS/CPO yang sedang beroperasi, karena perbuatan tersebut jelas dan terang bersifat dugaan permuatan melawan hukum (Pasal 63 Ayat (1) UU No 38/2004) dan menerapkan system K3;

Keempat, mendorong GAPKI sebagai institusi yang mewadahi semua perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk melobby Gubernur Kaltim agar merevisi Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2013, yang isinya dinilai sangat merugikan dunia usaha perkebunan kelapa sawit, hal mana pembatasan jam/waktu pengangkutan (18.00-06.00) sangat memperlambat waktu dan memperkecil volume pengangkutan TBS/CPO yang saat ini “industrialisasi hilir perkelapasawitan’ menjadi andalan ekonomi secara nasional sekaligus sebagai sektor industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja saat ini.

Demikian pendapat kami sebagai alternative solusi (second mind SOLLUTION) terhadap kegiatan operasional pengangkutan TBS/CPO perusahaan perkebunan, demi terus terciptanya kelancaran dan keamanan/keselamatan serta menjamin adanya kepastian hukum bagi perusahaan perkebunan di waktu mendatang dalam menjalankan kegiatannya.

Oleh: M.M. Rudi Ranaq, S.H.,M.Si
(Advokat/Lawyer, kelahiran Kampung Benung, Kecamatan Damai, Kutai Barat, Kalimamtan Timur
).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *